Kematian adalah pasti, seperti rampok yang datang tidak pernah diundang, merenggut kehidupan secara paksa. Setiap yang hidup berakhir di kesunyian kuburan.
Kematian selalu datang tak terduga. Raka bukan saja kehilangan bapaknya, tetapi juga Anita kekasihnya yang hilang bagai ditelan bumi
Kematian adalah pasti. Kepastian itulah yang datang menimpa Sobari, petani tua yang telah 19 tahun membesarkan Raka hingga menjadi lelaki dewasa.
Pada saat lintang kemukus melintasi atap rumbia gubuk di perbukitan, lelaki yang saat ajalnya terenggut akibat kanker hati itu menutup mata selamanya.
Tak ada tangisan, tak ada pula kepedihan. Hanya saja sebelum nafas terakhirnya tercerabut, petani tua itu berpesan pada anaknya.
"Jadilah lelaki yang bertanggung jawab, Nak, atas apapun yang kau perbuat. Berbuatlah sekarang, jangan pernah menunggu-nunggu waktu!"
Selebihnya, sunyilah yang berdaulat atas pemukiman di atas huma itu.
Sobari ditanam keesokan harinya di pemakamam umum tak jauh dari gubuk duka. Waktu demikian cepat berlalu, meski sebenarnya kehidupan di atas pedukuhan itu begitu mandek seperti tak bergerak. Statis.
Setiap hari matahari muncul, melintas dan tergelincir, begitu seterusnya. Air sungai masih terus mengalir, meski sekarang sudah mulai tercemar limbah pabrik di hulu. Purnama silih berganti tanpa henti. Sekian musim juga telah berganti tanpa ada perubahan berarti.
Meski pengetahuan umum bisa Raka peroleh di sekolah dan madrasah, tetapi kearifan mengenai kehidupan diajarkan langsung oleh almarhum bapaknya.
Hal terpenting dari ajaran kehidupan itu adalah bagaimana mempertahankan hidup tanpa menyusahkan kehidupan orang lain, demikian yang masih Raka ingat dan akan terus ia ingat.
"Kamu tahu, Raka, anakku.... masa lalu itu tidak ada. Masa depan juga tidak pernah ada," demikian suatu waktu Sobari bercerita kepada anaknya. Raka tidak tahu maksud perkataan bapaknya itu.
"Kau belum paham, bukan?" Raka mengangguk.
"Maksudku, percuma kau menangisi masa lalumu, sebab masa lalu itu tidak akan pernah hadir barang sedetik pun," demikian Sobari.
"Begitu pula masa mendatang. Kau berharap sesuatu di masa mendatang, itu juga buang-buang waktu percuma, tidak ada guna. Sebab waktu yang akan datang itu juga belum tentu ada. Maksudku, belum tentu kau alami, bukan?"
Raka masih belum paham. "Jadi apa yang harus kuperbuat, Pak?"
"Berbuatlah sekarang!" sambar Sobari.
"Yang kamu miliki kini adalah sekarang, kekinian. Jadi lakukan apa yang bisa kamu perbuat sekarang, jangan menunggu masa depan yang belum tentu datang!"
"Bahkan aku tidak boleh mengenang masa lalu, Pak?"
Sobari kembali menyambar,
"Bukan tidak boleh, tetapi percuma saja itu kau lakukan. Buang-buang waktu. Kau tak akan pernah melihat masa lalu hadir ke masa kini. Paham?"
"Bahkan berpikir masa depan pun tidak boleh juga, Pak?"
"Bukan tidak boleh," balas Sobari,
"Tetapi menurutku percuma saja. Masa depan belum tentu kamu dapatkan. Mengerti?"
Raka mengangguk...
Tidak banyak yang melayat, karena rumah bapak-anak ini cukup terpencil di atas huma.
Setiap kematian adalah berita di kampung itu. Tersebab, tidak banyak penduduk di sana. Sesama penduduk saling kenal, setidaknya tahu namanya.
Kehidupan demikian guyub. Tetapi keguyuban tidak terlalu nampak saat tubuh Sobari perlahan-lahan mulai ditanam, berdampingan dengan makam almarhumah istrinya yang tampak sudah menjadi kuburan tua.
Anita tidak datang melayat. Mungkin dia belum mendengar kabar duka ini, pikir Raka yang masih duduk tercenung di atas tanah merah, saat para pelayat sudah mulai beranjak pergi, saat tubuh Sobari sudah selesai dipeluk bumi.
Sukaesih hadir. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari gubuk Raka, bahkan bisa dipandang dengan mata.
Dialah yang datang menyapa Raka, menyampaikan bela sungkawa.
Ia datang ditemani Pendi, kekasihnya sekarang. Raka paham betul siapa Pendi.
Dia adalah bekas teman sekelasnya yang mahir bermain bolavoli. Tidak terlalu ganteng, tetapi tubuhnya atletis, tinggi besar.
Maka dia cenderung mudah mencari pacar. Pasangan inilah yang mendatangi Raka saat ia masih tercenung di atas tanah merah.
"Terima kasih kamu telah hadir melayat, Esih, juga kau, Pendi. Suatu saat akan kubalas kebaikan kalian," kata Raka saat keduanya mendekat.
"Aku tahu, bukan kami berdua yang kamu harapkan hadir di saat suasana seperti ini, Raka... Aku tahu."
Raka menggelengkan kepala,
"Tak perlu kamu jelaskan di sini, buat apa?Tidak perlu juga."
"Tapi aku paham apa yang kamu pikirkan, Raka.... Anita telah menitip pesan kepadamu melalui Kang Pendi ini...."
Raka tengadah, memandang Pendi dan Sukaesih bergantian. Ah, nama itu begitu menggetarkan batinnya, mengusik hatinya. Tidak tahu lagi apa yang harus ditanyakan, tetapi Sukaesih melanjutkan,
"Anita tidak bisa hadir di pemakaman bapakmu."
Raka tertunduk.
"Tidak mengapa. Mungkin ia terlalu sibuk. Kudengar dia hendak melanjutkan sekolah di Jakarta."
"Ah, jangan kau menutup mata dan telinga, kawan,"
sela Pendi."Anita masih kecapekan, tadi malam dia habis melangsungkan pertunangan"
Sukaesih menginjak kaki Pendi agar dia berhenti bicara polos seperti itu.
"Ah... Kang Pendi ini sok tahu, Raka, jangan didengar!"
"Aku berbaik hati memberi tahu kamu, toh kapan-kapan kamu akan mengetahuinya juga," Pendi menimpali.
"Ya, terima kasih, sobat," balas Raka menepuk bahu Pendi yang kekar. Matanya yang masih merah dan berselaput embun melirik Sukaesih.
"Maaf... aku harus pamit lebih dahulu, di rumah masih ada sanak famili yang harus kutemui."
Raka beranjak dari gundukan tanah merah bertaburkan melati putih dan bunga rampe yang masih segar, meninggalkan Sukaesih dan Pendi yang terdiam saling berpandangan.
Duka atas kematian orang tercintanya masih belum kering, duka lain yang lebih menekan datang tak disangka-sangka lewat kabar itu.
Sepagi ini, Raka telah kehilangan sekaligus dua orang terkasihnya;
Bapaknya.
Anita.
(Bersambung)
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anita : Tragedi Perawan Desa
ChickLitSebuah kisah Romansa Dan Dendam seorang wanita cantik dari desa