8

6.4K 182 0
                                    

Satu persatu perempuan desa itu mulai membuka kebaya pengantinnya di tepi jurang menganga, bahkan ia sudah mulai membuka penutup terakhir auratnya.

Sebelum sang pengantin itu benar-benar mencapai bibir jurang, Raka mengerahkan segenap kemampuan berlarinya. Otot-otot paha dan betisnya sedemikian terlatih karena tempaan hidup keras sehari-hari.

Tubuhnya melayang indah bagai cheetah menerkam kijang lincah di gurun Afrika.

Pun demikian, usahanya tidak sampai menyentuh, apalagi menggapai, tubuh sang pengantin yang tengah berdiri membelakangi jurang menganga.

Upaya yang demikian keras masih menyisakan jarak sepuluh depa. Raka terpaksa harus berhenti di tempat di mana ia berdiri sekarang.

Mencoba melangkah maju, Anita, sang pengantin, mundur sebanyak langkah maju si penyadap nira.

Hanya ada perdu liar yang tumbuh di bibir jurang itu. Ini pun menyisakan perangkap mematikan. Tersandung perdu itu dalam posisi berjalan mundur akan berarti akhir hidup sang pengantin.

Kini keduanya saling tatap dengan nafas masing-masing yang sama-sama memburu, bahkan tersengal-sengal. Dada keduanya turun naik.

Raka belum bereaksi lagi dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan sang pengantin mengawasinya dengan sorot mata kebencian paling liar yang pernah dimilikinya.

“Jangan coba-coba kamu mendekat! Lelaki bangsat…. kamu sama saja dengan semua bajingan itu!” dari bibir jurang Anita mulai menghamburkan sumpah-serapahnya yang paling keji.

Raka tak peduli makna sumpah-serapah itu. Ia melihat tatapan kosong melompong saat Anita berteriak penuh amarah.

“Kau masih bisa istighfar, bukan?” Raka memberanikan diri membuka suara.

Nyebut, Anita,nyebut !”

“Kamu tak perlu mengajariku kebaikan kepadaku, sebab pada dasarnya semua lelaki bajingan!” raung Anita membelah langit.

Seekor elang melayang rendah di atas kepala mereka di dataran tinggi dengan jurang tegak di depannya.

Boleh jadi seekor kelinci atau tikus hutan melintas dan mata elang telah mengunci mangsanya dari angkasa.

Tanpa suara, elang itu merendah dan kemudian menukik pada satu titik.

Sedetik setelahnya terdengar bunyi cericit tikus menjerit terkena cengkeraman kaki elang yang sangat perkasa.

Bunyi cericit memilukan inilah yang mampu menghentikan tangisan Anita sejenak.

Tetapi sedetik kemudian adalah pemandangan yang tak kalah memilukan dari sekedar tikus hutan malang itu, saat sang pengantin tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Giliran Raka yang berucap istigfar.

Tidak ada yang lucu, tak ada sesuatu yang membuat seorang waras bisa tertawa terbahak-bahak dengan suara membelah lembah, menggoyangkan rerumputan di sana. Raka merinding hebat.

Raka paham, menangis adalah pekerjaan orang waras. Pun tertawa.

Akan tetapi ketika tangis pilu berganti tawa membahana dalam hitungan detik, tidak ada kata lain selain malapetaka hebat tengah menimpa jiwa orang itu.

Bencana besar tengah mengguncang palung terdalam jiwa Anita, atma kekasihnya. Raka merinding lagi. Meski tetap harus menahan air mata, Raka bertekad untuk tidak menyerah.

Di depan matanya, sang pengantin tidak lagi mengutuknya sebagai lelaki bajingan. Ia masih menyisakan tawanya yang kini berubah menjadi sebuah ringkikan mengerikan.

Anita : Tragedi Perawan DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang