4

9.7K 208 5
                                    

Rutinitas dan tarikan nafas adalah perjodohan sempurna dalam hidup. Raka tidak boleh jatuh bosan oleh keduanya, sebab di sinilah inti rasa syukur itu.

Belajar mengubur ingatan akan masa lalu yang indah tidaklah semudah menanam tubuh manusia ke dalam bumi. Raka harus melupakan masa lalu dan mengerjakan apa yang ia kerjakan hari ini, seiring tarikan nafasnya. Rutinitas adalah tarikan nafas itu sendiri, tidak mungkin jatuh bosan untuk kedua hal itu.

Bersyukur atas kebaikan Sang Khalik adalah pelabuhan terakhir aktivitasnya. Maka di tengah hutan yang lebat, diiringi nyanyian gagak dan murai, selagi ada batu datar untuk salat, di sanalah Raka biasa berserah sekaligus bersyukr.

Salah satu upaya membunuh masa lalu ialah menenggelamkan diri dalam rutinitasnya sehari-hari yang nyaris tanpa perubahan berarti; pagi memanjat pohon enau, menyadap nira, memasak air nira menjadi gula, menjual gula ke pasar, mendagangkan air nira yang manis di pinggir jalan raya, dan memancing ikan liar di sungai. Demikianlah Raka.

Raka tahu persis, hanya waktu yang bisa mengatasi kenangan akan masa lalunya. Ia juga paham, belajar bisa berhasil atau sebaliknya; gagal. Hidup adalah pilihan antara berhasil atau gagal, tetapi ia jalan yang harus ditempuh. Belajar adalah kehidupan itu sendiri.

Raka belajar hidup dan kehidupan dari mendiang bapaknya. Sang bapak tidak pernah mengajarinya langsung, tetapi cukup mengajak Raka kecil menceburkan diri dalam danau kehidupan senyatanya. Belajar dengan mendengar dan terutama melihat.

Raka belajar melihat dan kemudian mengikuti bapaknya memanjat dengan kerampilan seekor monyet. Raka kecil menjadi paham bagaimana bertahan dan tidak panik atas serangan semut rangrang tatkala sudah berada di puncak pohon enau.

"Semut Rangrang marah karena merasa tempat tinggalnya terganggu. Kau tak perlu membunuhnya, singkirkan saja dengan tanganmu," kata almarhum Sobari pada Raka kecil. "Kalau menggigit, itu adalah cara mereka menunjukkan harga diri."

Pohon enau yang tunggal dan menjulang tinggi ke langit adalah kawah candradimuka kehidupan senyatanya. Pohon yang tidak bercabang, sehingga tidak memungkinkan ia menggapai cabang atau ranting untuk pertolongan tatkala jatuh dari ketinggian yang bahkan sulit dibayangkan dalam imaji liar sekalipun.

"Menaklukan pohon enau sama saja dengan menaklukan seribu jenis pohon yang tumbuh di bumi ini, Raka," suatu waktu almarhum Sobari berkata pada anaknya.

"Kelak kau akan sangat mahir ketika harus memanjat pohon yang beranting dan bercabang, sebab kau terbiasa memanjat pohon yang tidak semua orang mampu menaklukannya!"

"Tetapi setelah mahir menaklukan pohon yang sulit orang-orang taklukkan," Raka kecil bertanya hal ini kepada bapaknya,

"Pohon apa lagi yang harus kutaklukkan, Pak?"

"Jangan pernah mencari-cari musuh! Jadilah kau orang yang sangat mahir memanjat pohon enau, itu saja! Semua orang akan tahu kemampuanmu itu dan mereka akan mencarimu, tidak mencari orang lain," balas Sobari mengajari anaknya alifbata kehidupan.

Kemampuan yang diturunkan alam itu ada pada diri Sobari. Badannya padat berisi, meski tidak bisa dibilang kekar. Kaki-kakinya seperti terbuat dari kayu hitam.

Telapak kakinya seperti berselaput semen keras dengan celah-celah yang terbelah. Jari-jari kakinya melebar, terutama kedua ibu jari kakinya yang meregang ke samping. Ini karena jari ibu jari kaki dijadikan tumpuan terberat saat memanjat. Bisa dipastikan, kedua kaki itu tidak bisa dimasukkan ke dalam sepatu dengan ukuran apapun.

Alam menuntunnya dengan bijak, sebab dengan cara ini Sobari tidak perlu bersepatu sepanjang hidupnya. Bahkan kulitnya yang keras tidak bisa ditembus gigitan semut rangrang atau sengatan kalajengking beracun. Tatkala semut rangrang menyerang bagian bibir matanya, Sobari cukup mengedipkan matanya dan semut rangrang kabur sebelum tubuhnya terjepit kelopak mata.

Anita : Tragedi Perawan DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang