6

7.4K 193 12
                                    

Betapa hancur Anita, sang pengantin perempuan, yang menghadapi kenyataan pahit calon suaminya tidak hadir saat pesta perkawinan karena ditangkap KPK.





****






Sudah sejak lama Raka paham bahwa manusia dilahirkan sama, tetapi tidak dengan nasib dan papasten-nya. Nasib setiap orang bisa berbeda bahkan sejak orang itu terlahir ke dunia.

Apalagi papasten atau kepastian -bahasa langit menyebutnya qadar– semakin tidak sama.

Itulah yang ia hadapi di aula besar tempat pesta perkawinan dilakukan. Ia melihat saat itu nasib dirinya berbeda dengan orang-orang penting yang telah berduyun-duyun memasuki aula.

Nasib kadang diukur lewat penghasilannya hari ini.

Dari sisi rezeki, ini hari baik. Mestinya ini juga nasib baik. Air nira dagangannya tandas. Uang receh sudah berhasil ia kumpulkan jadi satu di selampe kumalnya yang warna kainnya telah memudar.

Naluri mengajarkan, setiap orang bisa mengubah nasibnya sendiri, termasuk dirinya. Tetapi tidak untuk takdir atau qadar  tadi.

Setiap manusia akan menemukan takdirnya sendiri sesuai yang tertulis dalam buku ghaib yang masih dipegang Sang Pencipta.

Musik dari pelantang yang dipasang di luar aula masih terdengar. Tapi sejauh itu, belum ada tanda-tanda pesta atau upacara pernikahan akan segera dimulai.

Orang-orang dan tetamu semakin banyak berdatangan. Mentari sudah semakin meninggi. Raka mulai bergerak untuk menjauhi aula itu. Baginya, tugas hidup selesai sudah ia laksanakan hari ini.

Meski api cemburu tak pernah padam, ia bersyukur Anita dipinang amtenar kota yang kaya raya.

Toh kalau dia yang menikahinya atau kekasihnya itu yang memilih hidup bersamanya, kehidupan akan sengsara karena ketiadaan harta benda di sekelilingnya. Bagaimanapun, harta adalah hiasan dunia.

Jauh di palung hati terdalamnya, ia bersyukur sekaligus bangga masih menjaga kesucian kekasihnya itu. Itulah yang membuatnya merasa sempurna sebagai seorang lelaki.

"Untukmu, Raka..." lirih Anita masih terdengar, serasa baru terucap kemarin petang, padahal sudah berbilang musim berganti.

Raka memundak rancatan melengkung seperti busur itu dengan kedua ujungnya diganduli tabung bambu air nira yang telah tandas. Beranjak pergi semakin menjauhi aula.

Saat Raka melewati gambar besar penikahan yang dipajang di ujung antrian masuk tetamu undangan, yakinlah kalau yang sedang berbahagia hari ini adalah Anita, kekasihnya.

"Ia lebih cantik digambar itu, hampir aku tak mengenalinya," Raka menghibur dirinya sendiri.

Namun tak dapat dipungkiri, senyum di gambar itu sejenak menusuk dadanya juga.

Perih rasanya, menyesakkan sukma, tetapi itu membuatnya bahagia dan bangga karena telah berhasil menjaga kesucian kekasihnya.

Api cintanya memang tak pernah padam, meski hanya berupa sekam.

Raka paham, sedikit saja angin menebak sekam itu, bara cintanya akan segera berkobar-kobar menyala. Raka ingin melabuhkan lagi cintanya kepada perempuan yang sama saat pertama ia jatuh cinta. Anita.

Harapan selalu ia simpan, sebab hanya orang matilah yang tidak menyimpan harapan.

Dan Raka melihat senyum pengantin pria di gambar itu seperti tertahan, seperti menahan sakit dan tidak tampil alami.

Matanya tidak fokus ke arah mata kodak, seperti ada banyak hal yang dipikirkannya.

Ah, apa pedulinya, pikir Raka, toh pengantin pria yang sudah berumur itu juga orang yang paling berbahagia di dunia, setidak-tidaknya untuk hari ini dan malam nanti!

Anita : Tragedi Perawan DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang