9

6.4K 174 3
                                    

Gadis berkerudung putih itu datang ke pedukuhan di kaki bukit itu.

Wajahnya tirus, tetapi tidak menyembunyikan kecantikan alaminya sebagai kembang desa.

Tiga purnama telah berlalu sejak peristiwa batalnya pesta pernikahan Anita dengan amtenar kota. Sebuah pesta yang mengguncangkan seisi desa.

Warga pedukuhan di kaki bukit itu tidak habis mengerti, mengapa ada pesta pernikahan suci bisa berantakan begitu rupa.

Bagi warga kampung di mana Raka mukim, pesta pernikahan sama sakralnya dengan pesta tujuh belas agustusan yang berlangsung setahun sekali. Tidak bisa dibayangkan jika pesta itu mendadak bubar seketika.

Pergantian hari tidak membawa perubahan bermakna bagi pedukuhan di mana Raka tinggal, sebuah bukit kecil yang rimbun oleh pepohonan dengan hamparan rerumputan di sekelilingnya, kecuali datangnya sebuah keajaiban.

Orang-orang menyebutnya henpon. Dengan benda ajaib di telapak tangan itu, siapapun bisa saling berbicara dan berkirim pesan, tanpa benang atau kabel.

Raka teringat masa kecil ketika ia bersama temannya saling berkomunikasi lewat dua kaleng bekas yang salah satu penutupnya dilubangi.

Kemudian di permukaan penutup kaleng yang telah dilubangi sebesar tusukan paku itu terentang benang.

Suara dialirkan lewat getaran benang yang terentang dan bergema di dalam kaleng yang kedap suara.

"Hallo, hallo.... Ini Safe'i ya.... apa kabarmu, Tuan Safe'i!?" demikian Raka kecil bermain telepon-teleponan.

Kini keberadaan "kaleng ajaib" sudah sangat berubah. Bentuknya bagus, ada layar televisi kecil di permukaannya dan yang penting benda itu bisa bicara tanpa menggunakan benang yang terentang.

Namun demikian, keberadaan benda ajaib sebagai alat berbicara jarak jauh di genggaman pun tidak mengubah kebiasaan Raka.

Kehidupan telah membuatnya mengikuti jalannya hari, seakan-akan hari adalah bokong yang harus diikuti.

Setiap pagi kewajibannya tidak lain menaklukkan pohon aren yang menjulang tinggi bak menggapai awan. Memasang tabung bambu di puncak pohon untuk menyadap enau.

Sesulit apapun tantangan jika itu dilakukan sebagai kebiasaan, maka tak pernah ada kesulitan. Hanya pemalas saja yang takut menghadapi tantangan.

Raka setiap hari menaklukkan pohon enau yang sama, pohon peninggalangan Sobari, bapaknya.

Siang hari air nira diturunkan lalu dimasaknya untuk dijadikan gula. Seperti biasa, sebagian air nira ia jual di tepi jalan raya.

Usianya kini sudah seperempat abad, usia yang matang untuk berumah tangga.

Beberapa tetangganya dengan senang hati menjadi mak comblang untuknya, mengenalkan beberapa gadis desa sebarang, bahkan menawarkan dirinya sendiri. Namun ada saja cara Raka menolak halus mereka.

"Kurasa tidak ada seorang pun gadis yang mau diperistri penyadap nira, Nyi Ipah," kata Raka suatu pagi.

"Bukan itu persoalannya, hatimu telanjur tertanam dan mengakar di hati Anita, bukan?"

"Kalau Nyai sudah tahu, mengapa harus susah-susah datang ke mari?" kata Raka tenang.

"Ketahuilah, Nyai, penolakan konon sering menyakitkan hati si pemohon, bahkan itu untuk kebaikannya sendiri."

Untukmu, Raka...

"Aku tak paham maksudmu, Raka?" Nyi Ipah bertanya.

"Sebagai pemohon, hati Nyai mungkin sakit saat kukatakan penolakanku, bukan?"

Anita : Tragedi Perawan DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang