Chapter 2 - Where am I?

106 10 2
                                    

Hari ini rasanya Hana sangat malas berada di rumah, ia memutuskan untuk menghabiskan hari Sabtu-nya dengan liburan seorang diri. Ia memesan taxi dan berangkat pagi-pagi buta hanya untuk menghindari bertemu orang tuanya. Ia bermaksud mengelilingi Kota Jakarta sebelum akhirnya berhenti di sebuah perpustaakan yang terletak di Jakarta Pusat. Hana yang hanya mengenakan t-shirt putih dibalut hoodie tebal berwarna hitam dan celana jeans, juga bermaksud ingin menghabiskan perjalanan keliling kotanya dengan tertidur didalam taksi.

*BRAK!!

---------

Seberkas cahaya melewati pandangan gelapnya, kerlap kerlip pohon natal yang biasa disusun keluarga saat malam natal, susu hangat yang diantar Mama sebelum tidur, daun daun jatuh ditaman bermain dekat rumah.

"Kenapa ini? Mana kado natal ku? Aku ingin sepatu roda-ku! Bawakan aku bekal, aku ingin berangkat sekolah!"

"Hana... Kamu lupa bekal mu"

"Kamu ingin kotak yang besar atau kotak yang warna-warni itu?"

"Mama dan Papa menyayangimu, Hana"

"Bermimpilah"

"Bermimpilah supaya kamu tau bagaimana pahitnya berada disini"

"Jangan pernah terbangun"

"Mama dan Papa tidak ingin mengurusmu"

"Mama..."

DEG!!

______________________________

Hana terdiam sejenak setelah membuka besar-besar kedua matanya. Matanya melihat sekeliling. "Ah, itu hanya mimpi" dalam hatinya. Mimpi buruk yang tidak akan pernah selesai.

Matanya kembali menjelajah keluar jendela mobil, melihat jalanan kota Jakarta disaat matahari belum begitu menampakkan diri. Ia masuk kedalam imajinasi kecilnya, kedalam lamunan bersama dengan hiruk pikuk suasana kota Jakarta dibalik jendela mobilnya.

"Mba, udah sampe nih, cuma bisa sampe sini karna kedalam jalannya sempit" Sapa sang supir taxi membuatnya tersadar. Hana membuka pintu mobil sesaat setelah membayar argo. Sepertinya jalan ini sangat tidak asing baginya, ia menyumbat telinganya dengan earphone yang terhubung dengan iPodnya. Lagu bergenre blues sepertinya akan cocok mengawali pagi hari ini. Matanya menyapu sekeliling sambil terus berjalan. 

*TAKKK

Seorang wanita tiba-tiba memecahkan suasana damai yang sedang Hana lalui dengan sebuah tepukan di bahu Hana. Seketika Hana menoleh kebelakang seraya wanita tersebut berteriak dengan semangatnya, "Pagi Hana! Tumben pagi banget berangkatnya" Sapa seorang gadis berambut pendek yang baru saja menepuk bahu Hana sambil memamerkan senyum manisnya.

"Lho, Vindy lo ngapain kesini?" Tanya Hana sambil melanjutkan jalan

"Lah ngapain lagi, belajar lah"

"Tumben"

"Emang lo pernah ngeliat gue bolos sekolah?"

Sampailah mereka didepan gerbang SMA 880 Jakarta, Hana seketika kaget bukan kepalang. Dilanjut dengan melamun dengan wajah bingungnya, seraya ditarik untuk masuk kedalam kelas oleh Vindy. Sesampainya dikelas pun ia masih memasang wajah bingungnya, bagaimana bisa ia sampai kesini padahal hari ini hari Sabtu.

"Woi! Bengong terus masih pagi......" ujar Dio yang membuat Hana kembali terbangun dalam lamunannya.

"Eh, sekarang hari apa deh?" Tanya Hana,

"Heh? It's Friday baby! Let's go out tonight! Hehe"

"Heh? Bukannya sekarang Sabtu?"

"Heh? Mimpi lo ya. Besok baru Sabtu"

Ia merasakan ada sesuatu yang ganjal disini. Atau mungkin memang benar hari ini masih hari Jum'at. Tapi ia sangat yakin bahwa hari ini hari Sabtu. 

"Hmm.. Sekarang tanggal berapa? Seminggu lagi gue ultah kan?" Tanya Hana lagi untuk memastikan,

"Lo kenapa sih, Hana? Sekarang tanggal 29 Desember, seminggu lagi ultahnya Vindy, bukan lo kocak" jawab Dio yang membuat Hana melotot kaget, karna tidak mungkin ucapan yang dilakukan Vindy dari sebulan yang lalu adalah mimpi. Berarti, ini adalah mimpi.

*Hana PoV

I'm dreaming right now.

Mom, dad. Aku benar masuk dalam lubang mimpi takberakhirmu.    

----------------------------------------

Jawaban mengerikan yang baru saja Dio lontarkan membuat jantung Hana berdegup kencang, ia tidak bisa berhenti mengedipkan bola matanya berkali-kali, nafasnya berubah tak karuan sampai Dio pun mungkin bisa mendengarnya. Pandangan matanya menyapu seluruh ruang kelasnya, melihat bagaimana teman-teman yang sedang berada disini adalah bagian dari mimpi nyatanya. Pantas saja pagi ini Dio dan Vindy bersikap manis seolah kemarin tidak pernah terjadi apa-apa. Pantas saja tiba-tiba Hana sampai disekolah dengan memakai seragam lengkap dengan peralatan sekolahnya. Mengapa ia tidak menyadari hal-hal yang begitu ganjal ini?

Hana akhirnya menyadari semua keganjalan ini benar hanya mimpi adanya. Dengan cepat dan dibalut rasa takut, Ia berlari keluar gerbang sekolah, menuju jalan sepi dimana orang-orang ini tak bisa menemukannya sesaat setelah menyadarinya. Ketakutan menyelimutinya, yang ia tau hanya berlari menghindari orang-orang palsu ini. Tanpa ia sadari, Dio dibelakang mengejarnya, meraih tangannya sehingga berhenti lah Hana dan Dio ditepi jalan besar yang sepi. Hana yang dirundung ketakutan berusaha melepaskan genggaman Dio dari tangannya, Ia berteriak dengan keras namun percuma saja; tidak ada yang akan mendengarnya.

"Han, tunggu! Lo kenapa sih, gila lo ya!" Teriak Dio yang kerasnya hampir sama dengan teriakan Hana,

"Lepasin! Gue mau pulang! Gue mau pulang!" Jawab Hana sambil berusaha melepas genggaman Dio, yang ia lakukan hanya berusaha pergi menjauh dari Dio yang berasal dari mimpinya.

"Dengerin gue dulu! Berhentiteriak-teriak!"

Hana hanya terus mendorong tangan Dio agar melepaskan tangannya dari genggaman Dio, sesekali ia hampir saja mencakar Dio karna ia sangat takut Dio akan berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Zombie misalnya, atau mungkin kera sakti.

"Gue tau semuanya makanya dengerin gue!" Balas Dio yang membuat Hana terdiam, ia menatap Dio dengansegala ketakutan yang ia miliki. Hana sama sekali tidak percaya bahwa Dio tau semuanya. Mungkin Hana dengan pasrah menyerah, karna tidak ada satupun makhluk di dunia mimpi ini yang berasal dari dunia nyata sama sepertinya, jadi ia hanya bisa menyerah, sekalipun ia dijadikan santapan macan, atau dinikahkan dengan kaum vampire. Bagaimana rasanya mengetahui kebenaran bahwadia hanya satu-satunya manusia nyata di dunia yang ia pijaki sekarang.

"Gue takut, Di. Gue mau keluar, gue mohon bantu gue, gue takut" air mata Hana berlinang dengan derasnya seraya ia menundukan wajahnya sambil tetap berpegangan tangan dengan Dio,

"Gimana cara lo keluar, sedangkan semua ini lo yang buat sendiri?"

My Sweet 17thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang