rendezvous

88 22 16
                                    

hilang. sudah hilang. mampuslah diriku, separuh nyawaku hilang. tidak ada di saku rok, tidak ada di saku kemeja, tidak ada di dalam tas.

ponselku hilang. dan aku yakin tak lama lagi vira akan mengomel.

"duh, kamu sih, teledor banget. kita lagi di sekolah lain. bisa kan, jaga barang bener dikit."

tuh kan, apa kubilang.

"tadi kamu taruh di mana hape nya?"

aku mengangkat bahu. "ya mana ku tahu, vir. kalau aku ingat, aku nggak akan kelabakan begini. think!"

ya, beginilah diriku. kata vira, aku makhluk paling teledor yang pernah ada. dan ya, memang begitu kenyataannya. kurang payah apa aku ini. selain ponselku yang hilang sekarang, aku pernah meninggalkan dompet kas osis yang isinya lebih dari empat juta setengah di kolong meja kelas saat sekolah diliburkan seminggu. alhasil, jabatan ku sebagai bendahara osis dicabut dan aku dikeluarkan juga. lengkap sudah.

"pengumuman, bagi yang kehilangan ponsel warna hitam dimohon segera mengambilnya di sumber suara. sekali lagi, yang merasa kehilangan ponsel warna hitam dimohon segera mengambilnya di sumber suara. terima kasih."

aku bisa merasakan lirikan mata vira sesaat setelah interkom berbunyi. mengisyaratkan agar aku segera mengambil ponselku.

"ambil sendiri ya. aku mau ke toilet. bye."

thats the real friend.

maka aku mengambilnya sendiri. sumber suara ada di ruang piket, tepat setelah lobi. suasana lobi ramai sekali. banyak peserta yang baru datang dan sedang melihat denah ruang pelaksanaan olimpiade sains tingkat kota.

aku menghampiri bagian resepsionis dan menanyakan ponsel yang tadi diumumkan. semoga itu benar ponselku.

"yang ini ponselnya?"

aku mengangguk dan menerima ponselku. "iya, makasih bu."

"sama-sama. untung tadi ponselnya ketemu di taman sama orang ini," jelas ibu resepsionis.

"lain kali hati-hati ya."

aku menoleh pada suara berat di sebelahku. aku membeku. orang yang kupandang menyunggingkan senyum kecil padaku. senyumnya kubalas dengan senyuman yang amat canggung. pasti wajahku terlihat bodoh.

bolehkah aku loncat dari tebing? sungguh, grogi sekali aku ini.

"kamu... yang nemuin hape aku?"

tujuh tahun. waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan keberanian untuk sekedar bicara.

orang itu, reinansa, mengangguk.

senyumku melebar. "makasih banyak."

"sama-sama... rania," balas renan. "bener rania, kan?"

aaaah! ternyata dia ingat namaku!

aku mengangguk. "bener, kok. tadinya aku kira, kamu nggak ingat namaku."

"kita ketemu setiap tahun, kan? jadi ya, saya hapal nama kamu," ujar renan. "oh iya, ada yang mau saya omongin. tapi jangan di sini deh."

renan memberi isyarat agar aku mengikutinya. langkah kami tertuju pada taman di samping gedung yang suasananya tidak terlalu ramai.

"mau ngomong apa?" tanyaku. duh, semoga tidak berkesan mendesak.

renan nampak kesulitan ingin memulai dari mana. apa ini sesuatu yang penting? setelah terdiam beberapa saat—mungkin dia baru menemukan kata yang tepat—renan angkat bicara.

"maaf, ran. tadi saya buka hape kamu."

aku mengerutkan keningku. Lalu? ponselku memang nggak dikunci. lagipula, memang nggak ada hal-hal aneh di dalamnya kecuali...

Seven Years Curiosity ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang