1.Wulan

55 2 0
                                    

Matahari sudah meninggi. Jalanan sudah tak lazim di bilang masih sepi. Jejak jejak kaki bersenggolan di atas peron-trotoar-halte-pangkalan. Ah... sudah hilang di injak sepasang kaki tegar berwarna coklat ideal. Haikal, dia seorang pelajar SMA Taruna Bakti. Berlari gelisah mengejar waktu berharap gerbang sekolah masih senantiasa terbuka lebar.

Desakan di dalam bis kota menyebarkan bau tak sedap. Haikal berjalan mengendap dari sempitnya bis. Maksud hati menghindari bau dengan berdiri di dekat pintu bis. Tak jarang ia harus menubruk seseorang yang ada di depannya ketika bis mengerem. Tatapan sinis adalah jawaban dari apa yang terjadi saat itu.

Bis melewati halte Harmoni, tempat Haikal turun dari bis. Dari sana gerbang sekolah sudah terlihat. Rupanya masih ada celah untuk masuk . Ia berlari lagi sekencang tenaga. Mang Ujang berdiri di depan pos-nya. Pentungan di genggamannya mengayun diatas tangan kirinya. Wajahnya sangar...

"Di jalan macet? Kesiangan? Bantu ibu dulu? Atau ada alasan lain untuk hari ini?" Ah, sial. Dia sudah hafal dengan segala alasan yang ku gunakan. Erang Haikal...

"Hari ini, kamu ikut saya ke lapangan. Hormat bendera selama 2 jam pelajaran pertama"

"Tapi,mang. Buat hari ini aja, saya masuk ke kelas. Ada ulangan di jam ke-3. Semalem lupa ga baca buka" semoga Mang Ujang memaklumiku.

"Ah, tiada ampun bagimu!"

Mang Ujang menyeret Haikal ketengah lapangan. Sebelumnya ia sudah menaruh sweater dan tasnya kedalam pos. Seperti anak kucing yang di seret, kerah Haikal di jinjing. Sambil jalan dia terus meminta belas kasihannya. Wajah garangnya masih terpampang seperti di film-film. Apalagi sehabis ia mengucapkan kalimat terakhir itu. Dunia serasa berubah menjadi sebuah panggung sandiwara.

"Hormat kebendera. Kalo bel sudah bunyi sebanyak 2 kali kamu boleh ambil tas kamu"

"Kalo ga bunyi-bunyi, gimana Mang?"

"Kamu tetep berdiri disitu"

Ah... kenapa nasib lagi ga bagus hari ini?. Mana ada ulangan lagi. Cocok buat penderitaan berharga. Bukan penantian berharga lagi.

Haikal terus mengerang dalam hatinya. Kaki tegaknya mulai lunglai ketika bel ke-2 tak kunjung menggema di telinga. Ia mulai menurunkan tangan hormatnya. Sesekali Mang Ujang yang melihatnya melempar batu kecil-sebuah peringatan agar tetap berdiri kokoh.

Kakinya kini sudah mulai gatal. Sesekali menendang, membuat arsiran, menampakkan bahwa dirinya sudah bosan berada di situ. Ketika matanya melihat batu sebesar kepalan anak kecil, ia iseng menendang sekeras-kerasnya. Tak di sangka mengenai seorang gadis.

Astaga.... kenapa mesti kena tuh orang. Nambah masalah inimah.

"Aduh..... siapa ini yang lempar batu?"

Perempuan itu terjatuh dan duduk setelah batu itu mendarat di kepala sebelah kirinya. Ia raba benjolannya. Saat dilihat ada cairan berwarna merah. Bercak darah!. Gadis itu berdarah. Ia menangis dan menjerit. Mungkin efek tegang, ia buat jeritannya semenarik mungkin. Sehingga terdengar sedikit lebay.

"Siapa yang lempar batu ini.....!!!!"

Haikal menghampiri, sebelum ada kerumunan disana. Ia sekap mulut gadis itu meski belum diketahui siapa namanya. Karna rambut lebatnya menutupi sebagian wajahnya. Lalu di bopong gadis itu kearah lorong yang menghubungkan gudang dan kantin. Disana jarang dilewati para siswa.

Ditaruh gadis itu dari pangkuan Haikal. Saat gadis itu mengibaskan rambut, terlihat jelas wajahnya. Astaga... ternyata Wulandari. Perempuan jenius anak kelas IPA 1 di sekolah Haikal. Ia tak percaya yang ia bopong adalah Wulan. Karna sedari dulu ia hampir tak pernah saling kenal. Saat dirinya tahu pun ketika di tunjukan oleh temannya. Itu pun hanya sebatas kenal muka.

"Lo siapa..? Berani gendong gua!"
Suara lantangnya menggema di lorong yang sepi ini.

"So..sorry, gua Haikal-Anak IPA 3. Tadi gua ga sengaja lempar batu. Eh, kena kepala lu.... sorry yah?" Haikal bingung sekaligus takut. Apakah ia akan memaafkan atau mengadukannya.

"Jadi elo yang bikin kepala gua pusing, benjol, berdarah?. Gua bakal aduin lo ke pak Jidan, suapaya di kasih hukuman!!" Volume suaranya semakin mengeras, ditambah telunjuknya yang tak kalah seram menujuk kearah Haikal.

"Aduh... jangan gitu, dong. Ini aja gua lagi kena hukum, terlambat sekolah. Masa nanti kena lagi"

"Terserah... yang penting lu di hukum akibat perkara gue!!"

Ah, ternyata yang namanya Wulan-yang katanya gadis paling cantik di sekolah ini-murid paling jenius-tapi ga ada rasa prikemanusiaannya. Astaga.... gua harus gimana lagi???

Haikal menggaruk keplanya yang tidak gatal itu. Ia memutar akalnya, mencari jalan keluar dari masalah ini.

"Gini aja, gua bakal turutin apa mau lu. Kalo lu mau maafin gua, gimana?" Haikal memberi penawaran kepada Wulan. Nampaknya ia masih keukeuh dengan ancamannya.

"Yang gua mau, lu di hukum!!"

"Jangan gitu lah, Lan. Gua mau ada ulangan bu Eswa, lu tau kan guru killer mata pelajaran matematika itu. Kali ini aja, lu selamatin deh nyawa gua. Nanti bakal gua turutin apa mau lu. Lagian, darah sedikit doang juga. Manja, Lu"

"Eh... lo kira ini ga sakit? Sini gua lempar batu ke kepala lo, mau"

Ah, apa lagi yang harus gua lakuin. Wulan ga mau terima tawaran gua. Berabe urusannya.

"Yaudah, kalo lo mau gue maafin lo-nanti sepulang sekolah lo keparkiran mobil. Temuin gue!"

"Mau ngapain?"

"Katanya mau nurutin apa yang gua mau? Apa mau gua aduin ke pak Jidan?"

"Eh, ngga-ngga. Yaudah, pulang sekolah"

Mereka sepakat untuk bertemu sepulang sekolah di parkiran tempat Mobil. Entah apa yang akan Wulan berikan kepada Haikal sebagai tanda permintaan maafnya tadi.

***

Siang menerjang peluh di seluruh tubuh. Dengan wajah amburadul sehabis ulangan matematika. Haikal menepati janjinya di parkir aekolah. Diasana ia linglung mencari seorang Wulan. Dimanakah dirimu berada?

Haikal duduk di atas kap mobil berwarna merah. Sesekali ia melihat jam, lalu mengibaskan tangannya di arah mukanya. Lama menunggu dan panas menyentuh. Wulan tak kunjung datang. Sempat ingin memutuskan tuk pulang. Namun rasa gelisahnya terus menahan. Membiarkan ia tetap berada di atas kap mobil berwarna merah.

Benderang menghampiri Haikal. Sepertinya malam belum tiba, tapi mengapa sudah ada purnama di siang bolong ini. Ia terpaku menyaksikan panorama yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia seperti mengenali sosok itu. Wulan. Ya, Wulan yang baru tadi pagi ia lempar kepalanya dengan batu. Meski tak sengaja, ia tetap mendapat hukuman. Belum jelas hikuman itu apa. Tapi sebentar lagi akan ia rasakan. Ketika purnama pudar oleh terik matahari lagi.

"Ayo ikut gua ke mobil!".

Baru saja Haikal di suguhi syurga dunia. Sekaligus fakta bahwa Wulan memang gadis cantik di sekolah. Tak ayal jika para siswa selalu menggodanya.

"Apa nih, mau lu?"

"Ayo ke mobil gua dulu!"

Ah.... rese!.

Haikal mengikuti Wulan dari belakang menuju mobil kecil berwarna putih dengan tatto hello kitty di samping kanan dan kirinya.

Wulan memasuki mobil, lalu menutup pintu-mengagetkan Haikal yang sedari tadi memperhatikan mobil putih bertatto hello kitty.

Haikal mengetuk-ngetuk jendela. Meminta maksud apa yang Wulan iinginkan.

Tuk..tuk..tuk..!

"Lan, ko lu masuk mobil. Gua ngapain?"

Wulan sibuk merapihkan tasnya. Lalu ia berkaca pada cermin yang menggantung di atap mobil. Ia oleskan lipstik merah di bibirnya. Setelah merasa puas ia kecup-kecupkan, meratakannya.

Dengan santai ia buka jendela mobilnya. Haikal terlihat emosi. Maksud apa yang Wulan berikan. Dengan santai Wulan berucap..

"DORONG MOBIL GUE SAMPE POM DEPAN..!!"

tentang cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang