9.

10 0 0
                                    

Di lorong antara gudang dan kantin. Haikal duduk di bangku sambil membaca sebuah buku. Novel. Ia menghayati alunan latar yang membawanya sampai pada titik jenuh. Ia tatap sekelilingnya. Astaga... dia teringat akan lomba musikalisasi puisi yang tinggal beberapa hari. Wulan.... dia sedang terbaring lesu di rumah sakit. Segera dia tutup buku yang sebelumnya sudah diberi tanda baca. Lalu pergi kekantor untuk menemui pak Arfan.

Dikantor hening, tidak ada seorang pun guru yang duduk di kursinya. Haikal masuk tanpa seizin siapapun sambil memanggil apakah ada orang di dalam ruangan selain dirinya. Nihil, tak ada jawaban dari suaranya itu. Hingga mang Ujang menegurnya. Sambil bergegas menunjuk pada Haikal. "Ngapain kamu didalem?" Ucapnya lantang. Haikal menjelaskan maksud dirinya ada di dalam kantor sendirian.

Ternyata semua guru mendapat undangan dari dinas pusat untuk membicarakan soal kurikulum sekolah. Sehingga tak ada siapapun di dalam kantor tadi. Dan sebagian kelas ada yang kosong. Haikal kembali ke lorong dan membuka kembali buku yang tadi di beri tanda.

***

Pulang sekolah, lelaki bernama Haikal duduk termenung di Halte. Ia memikirkan bagaimana keadaan Wulan saat ini. Ia berharap agar segera di cabut kembali segala yang menimpa Wulan. Orang orang ramai menunggu kedatangan bis yang di maksud. Maka sebagian orang ada yang menggerutu, ngedumel, ada yang main hp, juga ada yang tidur pulas.

Hp Haikal bunyi dan berdetar. Ternyata dari kak
Utha.

Kaka utha.

Mana puisi yang bakal di ikut lombain?

Wah.... iya yah, Wulan kan kemarin udah minta formulirnya.

Haikal menuju rumah Wulan setelah bis tiba. Untuk mengambil puisi yang ada di atas meja kemarin. Di fikir fikir tanpa sepengetahuannya kali emang niatnya baik mah gapapa kali.

Di gerbang rumah Wulan sudah ada dua satpam berdiri di samping posnya. Tanpa fikir panjang Haikal menghampiri satpam lalu meminta izin untuk masuk menemui Tante Ratna. Satpam itu awalnya tidak percaya kalo Haikal adalah teman Wulan. Setelah meyakinkan seyakin-yakinnya baru lah satpam itu membuka pintu untuk Haikal masuk.

Gelisah antara takut dan malu ketika Haikal berada di hadapan pintu putih besar. Ia menatap sebuah bel di sampingnya. Walau akhirnya ia coba untuk memberanikan diri untuk membunyikan bel.

Meski agak lama, perempuan paruh baya tetap menyempatkan untuk membuka pintu dan menyapa. Rupanya Tante Ratna sedang memasak.

Ketika Ia menjelaskan kedatangannya untuk mengambil puisi Wulan, Tante Ratna sangat mendukung. Habisnya, Wulan tidak pernah percaya diri akan apa yang ia buat. Tante Ratna juga bilang dulu pernah Wulan di daftarkan lomba puisi di sekolah, namun tetap tidak mau menunjukkan karyanya.

Tante Ratna memberi ruang untuk Haikal. Ia bergegas ke atas menuju kamar Wulan dan mengambil secarik kertas puisi di atas mejanya. Yang kemarin Wulan akui itu adalah puisi tentang Haikal meski Haikal belum mengetahui maksud isi puisi itu.

Saat turun, Tante Ratna menyuruh Haikal untuk duduk sejenak. Dia bilang ada yang ingin di sampaikan tentang Wulan.

Ia menceritakan tentang Wulan yang mengagumi seorang lelaki di sekolahnya. Wulan sendiri belum tau dari mana asalnya rasa itu. Tapi dia yakin, itu yang dirasakan.

Tante Ratna juga bilang, kemarin ketika di rumah sakit. Wulan menyebut nama Haikal sekali ketika dia mau sadarkan diri.

Haikal mengangguk saja tanpa menanggapi sepatah katapun ke Tante Ratna. Di akhir ceritanya, Tante Ratna menyuruh Haikal untuk mampir ke rumah sakit besok siang.

***

Di sanggar penuh oleh orang orang yang sedang menari, bermain musik, drama. Haikal kesana kemari mencari kak Utha

Dia ada di ruangan, lantas di berikan pada kak Utha sebuah amplop yang berisi puisi Wulan. Dia tak lama, hanya berselang 10 menit (kurang lebih) lalu ia pamit pulang. Kak Utha sempat bilang pada Haikal bahwa pengumuman pemenang akan di langsungkan 5 hari mendatang.

***

Wangi khas rumah sakit tercium semenjak pintu otomatis bergerak dengan sendirinya. Tak di pedulikan, Haikal hanya fokus pada jalannya, yang mengarahkannya sampai ke ruangan Wulan dimana tempatnya dirawat. Disana sudah ada tante Ratna sedang berbincang dengan Wulan. Dia hanya tersenyum lirih mendengarkan setiap kalimat kalimat dari mulut Wulan. Suaranya berat, wajahnya pucat. Dan masih ada selang menempel di tangan Wulan. ( sampai kapan kau seperti ini, Wulan)

Ibu melirik pintu setelah ada suara decitan dari engsel-engsel yang mulai rapuh dimakan usia. Tangannya menerima, menyambut Haikal bersalaman. Sambil senyum, tante Ratna membisik 'udah selesai puisinya?' Haikal mengangguk sambil tersenyum, seperti ingin tertawa namun di tahan-tahan. 'Beres, tante!!!'

Haikal duduk di samping kanan Wulan. Karna di sebelah kirinya ada tante Ratna. Dia langsung akrab, bercengkrama tanpa harus menunggu waktu. Wulan sudah aga mendingan, untuk tertawa pun sudah bisa. Tante Ratna yang melihat itu, pamit untuk ke belakang. Sebenarnya di hanya malu, takut merusak suasana anaknya itu.

Haikal dan Wulan asyik bercengkrama ngalor ngidul. Ibunya datang membawa teh pun hampir di abaikan. Suster yang datang untuk ngecek kondisi, ketika melihat Wulan tertawa puas juga balik lagi. Terlihat sudah stabil. Kedatangan Haikal seperti membawa kekuatan untuk Wulan.

Brak!!!

Tiba tiba pintu di buka dengan kasar oleh seorang lelaki sambil membawa bingkisan bunga dan terlihat pucat khawatir. Wulan melihat itu tersentak.

"DIMAS!!!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

tentang cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang