Part 3: It Was Nothing

32 0 0
                                    

"Kenangan indah tetap hanyalah sebuah kenangan,

begitu pula kenangan pahit,

ketika waktu mulai berjalan terlalu jauh

lama kelamaan kenangan itu akan memudar.

Seperti bukan apa-apa,

Seperti bukan sesuatu yang berharga."


'Kukkurruyyyuukkkk' alarm hp ku berbunyi dan masih ada satu alarm lagi yang akan berbunyi, "tok.. tok... Riko, udah bangun?" ibu kos ku, ketika hari sekolah seperti ini bu kos ku rajin sekali membangunku setiap jam 06.00 wib atau bahkan kalau lagi kelewat rajin alarm bu kos udah bunyi jam 05.30 wib dan belum berhenti kalau belum disahuti, "udah bu" jawabku masih dengan mata yang tertutup.

Aku memegangi kepalaku yang terasa berat, aku seperti terkena geger otak. Aku membuka mataku yang masih sayu perlahan-lahan, berusaha menyesuaikan diri dengan sinar lampu yang terang. Aku memegang hp ku, mematikan alarm kalau tidak 15 menit lagi dia akan bunyi lagi.

Aku teringat sms Risa semalam, aku ragu apakah harus mengeceknya atau tidak, berharap itu semua hanya mimpi. Ternyata itu semua benar terjadi, sms dari Risa masih ada di inbox ku, Ahh sekarang aku benar-benar berharap aku sedang geger otak.

Aku menyandang tas sekolah dengan risih, tidak biasanya seperti ini, rasanya sedari tadi aku tidak menemukan posisi yang benar untuk meletakkan tas ini di pundakku.

Aku memasuki gerbang sekolah, aku terkesiap, ada Risa duduk dibangku taman sekolah bersama temannya Prisil. Aku memandanginya sebentar dan kemudian melanjutkan perjalananku menuju kelas dengan tertunduk karena Risa membuang muka dariku dan Prisil terlihat memandangiku dengan perasaan iba atau apalah itu.

Aku meletakkan tasku di meja dan menghempaskan badanku di bangkuku setiba dikelas, kelas XI IPA, tampak beberapa temanku telah datang termasuk teman sebangkuku, aku tidak memiliki kemauan untuk membalas guyonan mereka pagi ini. Aku menempelkan pipi kananku, pandanganku tertuju ke kursi Risa yang masih kosong, aku menghela napas.

Kelas tampak mulai rebut dengan suara teman-temanku yang berlarian menuju kursi mereka. Aku mengangkatkan kepalaku, Risa dan Prisil memasuki kelas, mata kami bertemu dan dia kembali membuang muka.

Sepertinya si Chan, teman sebangkuku, menangkap sikap anehku pagi ini "kenapa ko?" tanyanya "ga, kenapa-napa" jawabku dengan lesu. Dia menyipitkan matanya seperti menyelidiku, aku tersenyum dengan terpaksa ke arahnya.

Si Chan adalah teman dekatku sejak kami di kelas 1, dia murid pindahan, jadi waktu itu saat pertama dia masuk kelas dia langsung mengajakku berbicara.Aku yang memang tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang baru hanya menanggapi obrolannya seadanya dan kemudian berlalu, tapi akhirnya kami jadi teman dekat.

Nama sebenarnya bukanlah si Chan, tapi Putra, hanya kalau dilihat-lihat dia terlihat seperti tokoh kartun Shinchan bagiku, jadi aku memanggilnya dengan sebutan si Chan. Kami telah layaknya saudara, dia membagi semua rahasianya kepadaku, aku juga lebih sering curhat ke dia hanya saja tidak semuanya. Aku memang orangnya agak tertutup dan tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaanku sendiri.

Berminggu-minggu berlalu sejak kejadian tragis itu. Aku dan Risa tidak pernah berbicara sejak itu hingga sekarang, dan semua penjelasan tentang insiden itu belum juga aku ketahui. Aku sempat menerka-nerka siapa 'teman' yang dimaksud Risa, terdapat beberapa nama dibenakku dari teman-teman sekelas kami.

Ketika aku memikirkannya lagi, sepertinya aku terlalu ke-GR-an. Bagaimana mungkin ada yang menyukaiku secara diam-diam tidak ada yang dapat dibanggakan dari diriku. Mungkin demikian juga dengan Risa dari awal dia memang tidak pernah menyukaiku, itu hanya luapan perasaan sementara akibat suasana dan kenyamanan yang dia dapat sebagai teman. Aku sempat memikirkan opsi skenario seperti itu.

Akibat tidak adanya penjelasan logis yang kudapat, aku mulai menerka-nerka alasan apa yang mungkin cocok untuk Risa memutuskanku secara sepihak seperti itu, feromon aneh diotakku kembali bekerja namun berfungsi dengan cara lain, aku memulai membuat alasan-alasan yang cocok dan menggambarkan skenario yang memungkinkan untuk kejadian itu, segala kemungkinan yang mungkin.

Salah satunya adalah alasan bahwa Risa memang tidak pernah suka sama aku, jadi aku mulai merancang skenarionya di otakku.

Risa mengiyakan pengakuan perasaanku kepadanya, lalu setelah satu malam memikirkannya kembali, dia mulai risau, 'Bagaimana aku bisa menerimanya? apa aku sudah gila? bagaimana aku bisa membanggakan dia sebagai pacarku? bagaimana aku mengenalkannya ke orang tuaku? teman-temanku? aku harus memikirkan cara agar dapat memutuskannya tanpa menyakitinya? alasan apa yang bagus?'. Skenario-skenario itu mulai berputar didalam otakku, kepalaku kembali terasa berat.

Semester baru, sekarang aku telah kelas 3, XII IPA. Aku sepertinya mulai membiasakan diri untuk sudah mulai bisa melupakan Risa, tapi tampaknya tidak 100%.

Aku terkesiap ketika mendengar Risa jadian dengan abang salah satu teman sekelas kami, skenario yang pernah kupikirkan dulu mulai teringat kembali. Belum begitu lama sejak insiden 'Pacar 24 jam' aku dan Risa berlalu hanya dalam hitungan bulan dan dia telah memiliki pengganti, mulai terpikir olehku, apa mungkin skenarioku benar?

Aku memperhatikannya ketika jam pelajaran, sudah tampak seperti biasa, senyumannya, tawanya, seolah semua yang terjadi diantara kami bukanlah apa-apa, semua itu tidak ada artinya.

Semua perjuanganku satu setengah tahun itu tidak berarti apa-apa baginya. Namun semua itu berarti besar bagiku, sejak saat itu aku mulai sering menulis puisi dan semuanya bertema tentang patah hati, aku menghela napas membaca puisi-puisiku.

Sebenarnya cukup bagus, bahkan pada pelajaran kesenian ketika kami disuruh membawakan puisi atau lagu kreasi kami, aku mengubah salah satu puisiku menjadi lagu, ya walau nadanya agak aneh karena aku memang tidak bisa main alat musik tapi lumayan, menurutku.

Sepi ini, tak begitu berarti,

Bagi diriku yang terbiasa sendiri

Dunia ini, tak sebegitu hampa,

Dibangdingkan jiwaku yang telah kosong

Dan karena kesepian yang selalu saja hantui,

Tapi itu tak berarti

Karena hatiku telah mati,

Sejak kau tinggalkanku,

Sisakan sedih dan pilu dihatiku

Biarkan ku terbelenggu dalam sedih hati,

Biarkanku terbelenggu dalam cintamu,

Yang selalu saja membuatku merasa tak berarti,

Dan biarkan diriku terbelenggu dalam sedih hati,

Biarkan aku terbelenggu dalam sepi.

Aku membaca puisi ini untuk kesekian kalinya, aku rasa ini puisi yang paling menggambarkan perasaanku, aku membolak-balik buku yang ku pegang, sudah banyak sekali puisi yang kubuat, ya sepertinya puisi menjadi sarana untukku dalam menggambarkan suasana hatiku, ini mediasi yang bagus.

Aku sudah mulai melupakan semuanya, benar-benar semuanya. Seperti mengosongkan kepala dan hati untuk memuat harapan dan mimpi lain didalamnya.

Kenangan indah tetap hanyalah sebuah kenangan, begitu pula kenangan pahit, ketika waktu mulai berjalan terlalu jauh, lama kelamaan kenangan itu akan memudar. Seperti bukan apa-apa, seperti bukan sesuatu yang berharga.

Americano Full CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang