5. Teman lama.

563 30 8
                                    

Kesialanku tidak kunjung berhenti. Hari-hariku disekolah masih saja sama. Dijahili terus oleh siswa-siswi gedung B. Kabar itu benar-benar menyebar dengan cepat sih! Justin terus-terusan menyuruh mereka mengerjai aku, dan parahnya Paul dan Paula harus terseret hal ini. Mereka berdua kena sial juga sepertiku.

Kupikir hanya tinggal tunggu waktu sampai mereka meninggalkan ku. Kalau hal itu terjadi... aku gak akan kaget atau sakit hati lagi. Aku siap.

"Kabarnya udah sampe gedung A loh, Just," kata Albert yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku, duduk di kasurku. Sayangnya... aku gak liat dia masuk kamarku tadi. Aku betul-betul lagi bengong.

"Kabar apa?" kataku dengan pandangan kosong.

"Lo dijailin abis-abisan sama anak-anak gedung B. Siapa yang nyuruh? Shela atau Justin?" tanyanya cemas.

Aku menggeleng tapi kemudian mengangguk singkat. "Yah... Justin yang nyuruh," jawabku sambil menghela napas. "Lo lawan dong! Tunjukin siapa diri lo! Lagian lo kenapa bisa ada masalah ama dia sih?! Kan udah berkali-kali dibilangin hati-hati melangkah! Musuh lo yang dulu gaada apa-apanya dibanding yang sekarang, Just! Beda level, tau gak?" kata Al berapi-api.

Aku mengangguk singkat, "iya. Nanti aja lawannya, tar gue kena karma lagi. Ini kan karma, Al," Al menggeleng kesal, "Gausah pikirin karma dulu deh! Lawan dulu aja! TUNJUKIN SIAPA LO SEBENARNYA!" raung Al sambil menggoyangkan bahuku.

"Ini aja karma, Al. Dulu kan gue jahat banget, Al. Sekarang ya balesannya," kataku santai dan tenang. Walau tetap berpandangan kosong.

Dia mulai berdecak kesal, "serah lo deh. Gue pergi dulu," lalu dia beranjak pergi sambil memandang ku prihatin.

Aku gak terlalu peduli lagi.

*

"Kata Justin kita disuruh jailin cewek yg itu," aku mendengar seorang kakak kelas wanita menunjukku sambil berbisik dengan teman disebelahnya. Aku mengacuhkannya sambil terus berjalan ke kelasku.

Tiba-tiba ada yang menyelengkat kakiku. Akupun terjatuh dengan konyolnya. "Urgh..," kataku sambil berusaha berdiri. Sialnya.. Kakiku terkilir...

"Yaampun... Gapunya mata ya? Ampe jatoh gitu. Malu-maluin amat," aku mendengar cewek yang tadi- yang berbisik-bisik itu mengejek kearahku. Aku tau. Dia dan temannya yang satu lagi pasti yang menyelengkat kakiku.

Kutahan amarahku dengan sebisaku. "Sial. Lo yang nyelengkat gue ya?" tanyaku kesal. "Kalo iya kenapa? Gue kakak kelas lo. Yang sopan dong ama gue. Jangan mentang-mentang kakak lo itu Albert, penguasa gedung A jadi lo bisa seenaknya! Kakak lo gak disini, bocah!" katanya sambil mendekat kepadaku dan mendorong bahuku sampai aku hampir jatuh terjengkang, lagi.

Seberapa banyak murid disini yang sudah tau, tentangku? Dan tentang keluargaku? Oh yaampun... Harusnya itu membantu! Aku adik dari seorang penguasa gedung A yang pinter, ganteng, dan jago berantem! Orangtuaku? Mereka juga masuk jajaran orang kaya di negara ini! Bahkan di dunia? Mungkin.

Cih. Aku jadi penasaran apa Justin lebih sempurna dari kehidupanku? Maksudku kakakku? Lebih pinter? Lebih keren? Lebih jago berantem? Dan lebih kaya? Ini rumit serius. Aku ingin tau latar belakang cowok itu.

Yang kulihat, cowok itu keren? ya. Cowok itu jago berantem?Kemungkinannya besar sekali. Pinter? Entahlah... Lebih kaya? Aku harus menyelidikinya. Aku akan bertanya kepada Al.

"Eh tengil! Kok lo bengong? Jelek tau gak muka lo bengong gitu! Udah jelek, malah makin buruh rupa lo!" Kakak kelas cewek itu membuyarkan lamunan singkatku.

Aku mendongak dan berdiri, walau kakiku masih sakit. Dan berjalan meninggalkannya yang mengomel karna sikap kepergianku yang seakan tak terjadi apa-apa.

Aku masuk ke kelas yang sudah lumayan ramai. Dan kulihat ada yang aneh. Ada yang hilang.

"Nyari sesuatu ya, Justice?" tanya Quina sambil menyeringai penuh kemenangan. Aku mendongak dan menatapnya, "Lo tau ada yang hilang?" tanyaku santai tanpa basa-basi sambil terus mencari apa yang hilang.

Seringaiannya makin lebar, dan dia tertawa puas tanpa menjawab pertanyaanku. Aku terpaku bingung. Dan kusadari, ada. Ada yang hilang. Meja dan kursiku disembunyikan entah dimana.

Aku langsung berjalan ke arah Quina dan mencengkeram kerahnya, "Lo sembunyiin dimana, meja sama kursi gue?" desisku dari sela-sela gigiku yang terkatup rapat.

Dia sedikit terkejut karena melihat perubahan ekspresi yang selama ini sudah jarang kugunakan. Tapi cepat-cepat wajahnya kembali semula. "Lepasin gue, Justice. Lo bukan siapa-siapa, lo gak nakutin gue. Dan kakak lo ada di tempat berbeda, Just," jawabnya sambil balik mencengkeram tanganku untuk berusaha melepaskan cengkeraman tanganku dari kerahnya.

"Gak peduli. Katakan aja gimana kalau, gue itu siapa-siapa. Lo takut?" tanyaku masih mencengkeram kerahnya. Dia diam sejenak... Kesempatan ini kugunakan untuk melepasnya dengan cara kasar membuatnya jatuh tersungkur kebawah sambil terbatuk-batuk.

"Payah...," gumamku pelan, tapi aku yakin dia mendengarnya. Dia lantas berdiri dan balik mendorongku. Tapi kutahan diriku untuk tidak jatuh, bahkan bergerak. "Kalo lo pinter, lo bakalan nyari bangku sama meja lo sekarang juga. Sebelum bel," katanya masih terus berbunyi seperti marah berapi-api.

Aku menyeringai dan balik berlari kearah mana saja untuk mencari meja dan kursiku. Lantai bawah tidak ada, atas tidak ada, tiba saatnya ke atap sekolah.

Dan ternyata memang disana, bangku dan mejaku berada. Aku lega dan kesal. Tapi yang mengejutkanku ada seseorang disana, yang lain dan tak bukan adalah teman lamaku.

Dia sedang menatap tepat lurus kearahku. Aku membeku ditempat.

"Justice... Udah lama gak ketemu," katanya berbasa-basi. Dia membuka tangannya lebar-lebar seperti hendak memeluk. "Carl," bisikku singkat. Dia mengangguk dan berjalan kearahku.

"Aku bertanya-tanya kenapa ada bangku dan meja disini, ternyata ini milikmu ya? Kenapa bisa disini?" tanyanya penasaran. Aku hanya mengangkat bahu. Dan dia melanjutkan kata-katanya, "Well... Maaf waktu itu aku sempat mengganggumu di telpon," sangat...

"Aku terus terang saja, aku kangen padamu, Justice Valencia Valery," lanjutnya lagi dalam nada sendu. Aku kesal melihatnya disini, padahal aku sudah muak dengannya, berharap tidak melihatnya lagi sejak aku pindah. Eh sekarang dia malah muncul disini dan menampilkan wajah sok kegantengannya disini, dihadapanku.

"Sayangnya, gue gak kangen sama lo. Lo ngapain disini? Ada urusan apa?" tanyaku curiga dan sebal. Wajahnya lembut, dan dia berdecak, "ckck... Ayahku pindah kesini, dia dipindah maksudku. Kamu tau kan? Dia itu kan kepala sekolah. Di rotasi mungkin, nah jadi aku disini. Kebetulan teman SMPku juga sekolah disini. Membuatku lebih nyaman karna dia menakutkan,"

Menakutkan? Jangan bilang... Oh please... Jangan sampe ini soal Justin. Mimpi burukku masih berlanjut ternyata.

"Oh. Lo kalo ngomong sama gue gausah pake aku-kamu! Jijik tau gak? Udah ya. Gue mau ambil bangku-meja gue," aku pun langsung menyambar bangku dan mejaku, menaikan bangkunya keatas meja dan membawanya.

Tapi tangan Carl memegangku, "Oke. Gue gak pake aku-kamu lagi. Tapi kayaknya lo butuh bantuan? Gue yang bawa aja ya?" tawarnya sambil seperti memohon. Aku menatapnya datar, dan melepas tangannya dari lenganku. Tapi dia mencegatku lagi.

"Apa sih? Ganggu mulu!" bentakku kepadanya. "Sorry, tapi gue pengen tau, kenapa bangku lo sama meja lo disini? Jangan-jangan lo dibully? Atau gimana?" tanyanya cemas.

Aku tidak memperdulikannya, aku mengelak dan menendang perutnya, untuk pertama kalinya sejak terakhir berantem. Aku menendang orang, kurasakan sedikit kelegaan di tulangku.

Carl mengerang kesakitan sambik jatuh terjengkang. "Sorry," gumamku singkat dan berjalan menjauh.

*

Holllaaaaaa!!! Huft! Selesai juga Part yg ini -_- nulisnya dua hari ini ._. Wkwkwk. Penasaran selanjutnya? Vomments, okay?! Wekeke :D

Read for Read? Papan pesan tersedia untukmu :D

Next chapter tergantung vomments loh :D Dan juga tergantung ide+mood :D

Inspired by: Idol Shopping by Hwang Mi Ree

Don't forget to follow me~ Remember! Vomments kawan :)

Sorry for typo, gajelas, aneh, whtever.

Justice and Justin [ PENDING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang