Caramu memperlakukan diriku, sangat lah berbeda. Membuatku merasa bahwa engkau memang anugerah terindah yang pernah Tuhan kirimkan kepadaku.
[Loves All Of You]
🌹
Aku melepaskan celemek yang melekat di tubuhku, memandang dengan puas sekotak nasi goreng yang sudah kuracik penuh dengan cinta. Saat kudekatkan kotak makan tersebut, aromanya sangat enak. Membuat aku tak sabar memberikan makanan ini pada Alwi. Pasti dia akan menyukainya. Aku yakin itu. Apalagi aku yang memasaknya sendiri.
Segera ku masukkan kotak makanan itu ke dalam paper bag yang sudah aku siapkan sebelumnya. Barulah setelah itu aku berlalu ke kamar untuk mengambil slingbag. Di dalam kamar, langsung ku ambil sebuah parfum yang tergeletak di meja riasku. Setidaknya, benda tersebut dapat mengurangi bau bumbu dapur yang melekat pada tubuhku.
Setelah aku rasa cukup, aku berjalan mengambil sepedaku di garasi. Jarak yang harus aku tempuh agar sampai di rumah Alwi, tak terlalu jauh. Mungkin, kurang lebih tujuh meter. Makanya aku memilih untuk naik sepeda, sekaligus mengurangi polusi udara.
Sudah banyak kali aku tersenyum ramah kepada para tetanggaku, juga melambaikan tangan ke arah mereka. Penghuni kompleks ini memang kebanyakan orang ramah, sepertinya begitu. Tanpa terasa, sepeda yang ku kayuh, sudah masuk ke dalam halaman rumah Alwi. Rumah yang dominan bercat warna biru langit, dengan banyak bunga bermekaran disetiap sisinya, selalu terlihat tentram di hatiku.
"Assalamualaikum, Alma di luar. Yang di dalam, buka-in pintunya dong," ucapku dengan ceria. Aku rasa, itu kata yang selalu terucap saat aku berkunjung ke rumah orang. Supaya tidak disangka teroris. Antisipasi aja, sih.
Tak ada respons, aku pun mengetuk pintu bercat putih itu untuk kedua kalinya. Tak lama setelah itu, pintu terbuka menampilkan seorang gadis remaja berusia empat belas tahun. Dia Nadin, adiknya Alwi. Wajahnya tak kalah imut dari aku.
"Waalaikumsalam. Masuk, Kak," jawab Nadin dengan senyum mengembang. Rambut sebahunya dihiasi sebuah bando kelinci dengan telinga yang panjang. Lucu sekali, bandonya.
"Mau ke mana, Din? Rapi banget," ucapku menatap penampilannya dari atas sampai ujung kaki. Membuatnya ikut-ikutan menatap penampilannya sendiri.
"Biasa, Kak. Ada les Bahasa Inggris."
"Alwi kan, pinter Bahasa Inggris. Kenapa gak minta ajarin sama dia?" tanyaku penuh dengan rasa ingin tahu.
"Nadin males sama Kak Alwi. Marah-marah mulu kalo ngajarin," ucapnya terlihat kesal. Aku maklum sih, Alwi memang tidak sabaran dalam mengajar orang yang otaknya sedikit lemot. Meskipun seperti itu, Nadin tak kalah prestasinya dengan Alwi. Memang sudah pintar dari nenek moyangnya kali, ya.
Aku tertawa lirih mendengarkan penjelasan Nadin. Aku menepuk pundaknya pelan seraya berkata, "Yang sabar ya, Din. Sekalian Kakak izin masuk, ya?"
Nadin mengangguk. "Nadin juga mau pamit. Assalamualaikum," ucapnya searaya melambaikan tangan ke arahku.
Setelah Nadin benar-benar pergi dari hadapanku, aku masuk ke dalam rumah Alwi yang banyak terpampang pajangan dinding. Aku celingukan mencari orang yang berada di dalam rumah ini. Walaupun aku sudah keseringan main ke rumah Alwi, aku masih tak enak hati jika main nyelonong masuk ke dalam rumah orang.
Namun, saat kakiku hendak melangkah, menelusuri rumah ini lebih dalam. Aku melihat Alwi berjalan menuruni anak tangga, tangannya sibuk memegangi perut. Membuat bibirku menyungging senyum dengan sempurna. Bisa ku tebak, pasti dia kelaparan. Karena jam segini, kedua orangtua Alwi belum pulang dari kantor, sedangkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Alwi pasti sudah pulang. Jam kerjanya memang hanya sampai jam tiga sore.
Aku pun segera menghampirinya, membuat dia sedikit terkejut dengan kehadiranku. "Sejak kapan kamu di rumahku?" tanyanya bingung.
"Sejak sekarang. By the way, aku bawa nasi goreng spesial buat kamu, spesial rasa cinta." Aku menunjukkan paper bag yang aku bawa di hadapan wajahnya. Membuat dia mengendus seperti kucing. Terlihat sekali, dia sangat kelaparan.
"Aku tau, jam segini pasti kamu kelaperan. Makanya aku ke sini," ucapku lagi. Aku menggiringnya menuju kamar, pasti Alwi baru selesai main PSP di kamar.
Kamar milik Alwi, tak pernah berubah. Dindingnya terlihat sangat polos, karena memang tak ada hiasan yang melekat di sana. Sebuah kanvas berlukiskan wajahku, satu-satunya hiasan yang terlihat di kamar ini. Kata Alwi, dia sengaja memasang lukisan itu berhadapan dengan tempat tidur, supaya tidurnya selalu nyenyak dan mimpi indah. Aku tersipu sebab hal itu.
"Ayo duduk sini, deketan sama aku," ucapku manja. Terkadang aku geli dengan tingkahku sendiri. Terlalu sering lost control setiap di dekat Alwi. Maklum lagi kasmaran.
"Duduk di bawah aja, aku pengin maen game lagi," jawab Alwi. Ia sudah duduk manis seraya memegang stik PS-nya. Ia kembali fokus dengan layar di hadapannya.
Aku pun beralih duduk di samping Alwi, menatap dia yang sibuk dengan dunianya sendiri. Sekali aja, aku ingin Alwi yang memulai. Bukan aku yang terus menerus berusaha mencairkan suasana.
"Tadi katanya laper, sekarang malah main game," ucapku menatap ke arah pintu kamar Alwi yang tertutup.
"Kan aku nunggu kamu suapin aku."
Aku tersenyum sebab ucapan Alwi. "Sekarang buka mulutnya, aa...."
Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut Alwi, melihat dia makan dengan lahap, membuatku diriku ikut merasa kenyang. Kini, nasi goreng buatanku benar-benar habis tak tersisa. Ternyata dia benar-benar kelaparan.
Senja sudah tampak, langit mulai gelap. Aku masih duduk di samping Alwi, di tempat yang sama seperti tadi. Tak ada obrolan yang serius, hanya beberapa topik yang sebenarnya juga tak terlalu memiliki faedah untuk diobrolkan.
Sejujurnya aku ingin sekali main di luar untuk malam ini. Seperti merefreshkan pikiran sebelum Ujian Nasional berlangsung. Tetapi, Alwi tak pernah mengerti dengan kode-kode yang aku berikan. Aku menghela nafas panjang, berusaha menerima keadaan menyebalkan ini.
"Ayo berdiri!" seru Alwi kepadaku. Ia sudah berdiri di hadapanku, menatapku dengan senyum manisnya. Bukannya senang, aku justru bingung menatapnya.
Alwi mengulurkan tangan kepadaku, membantu aku untuk berdiri di sampingnya. Baru setelah itu, dia menggenggam tanganku dengan erat. Meskipun aku masih tidak mengerti, aku tetap menikmati genggaman tangan Alwi yang terasa hangat.
"Kamu ke sini naik sepeda, kan?" tanya Alwi, saat kami melangkah keluar dari kamarnya.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kok cerewetnya ilang? Padahal udah diajak jalan," ucapnya tanpa menatapku. Membuatku menoleh seketika.
"Kamu ngajak aku jalan? Kenapa gak bilang dari tadi? Aku kan, bisa ngerapiin penampilanku dulu," ucapku sedikit histeris. Sampai-sampai aku berhenti melangkah, memukul lengannya pelan.
"Penampilan kamu kayak gimana pun, kamu selalu terlihat cantik buat aku." Alwi berkata seraya mengangkat daguku, supaya aku menatap matanya yang selalu terlihat indah.
Semburat rona merah muncul begitu saja pada pipiku, aku langsung membenamkan wajahku pada permukaan dada bidangnya. Sekali lagi, takdirkan aku dengan dia, Tuhan. Karena ketika bersamanya, aku merasa sempurna.
Kami berdua beriringan menuruni anak tangga, tangan Alwi tetap menggenggam tanganku dengan erat.
Setelah mengambil sepedaku di garasi, Alwi menuntun sepeda itu hingga ke luar halaman rumahnya. Malam ini, malam yang menjadi saksi bisu. Alwi terlihat sangat manis. Aku melumer melihatnya. Seakan aku ini es krim yang diletakkan di bawah panas terik matahari.
Aku berdiri saat dibonceng oleh Alwi. Tanganku merentang dengan lebar seperti senyumku, menunjukkan pada dunia, bahwa aku bahagia memiliki kekasih seperti Alwi. Dia anugerah terindah dari-Mu, Tuhan.
✨✨✨
Ambulu, 10 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVES ALL OF YOU (COMPLETED)
Short StoryDalam mencintaimu, aku tak membutuhkan banyak alasan. Dalam hubungan kita, aku hanya berusaha menjadi yang terbaik, pun memahami semua sifat dalam dirimu. Serta dalam keyakinanku, memang dirimu lah yang pertama dan terakhir. • • • • • short stor...