BAB 9: Kecewa

109 8 0
                                    

Tak selamanya, kejutan yang kau anggap spesial, bisa membuatku terkesan.

[Loves All Of You]

🌹

Semakin hari, Alwi semakin bertambah manis. Dia selalu memberiku kejutan-kejutan kecil dalam beberapa bulan terakhir ini. Selama itu aku berusaha menerima semua pemberiannya tanpa rasa curiga. Walaupun sempat beberapa kali aku memergoki dia bertelepon dengan seseorang secara sembunyi-sembunyi. Sampai saat ini, aku belum tau siapa orang yang bertelepon dengan Alwi itu. Aku hanya berpura-pura tak tahu apa-apa setiap di depan Alwi, agar tak menimbulkan percek-cokan. Kecuali, jika kedua bola mataku menyaksikan sendiri Alwi bertemu dengan seorang perempuan. Mungkin, masalah besar akan menghampiri Alwi.

Aku menuruni anak tangga seraya bersenandung kecil. Dengan penuh semangat aku keluar rumah untuk bertemu dengan Alwi. Ketika sampai di ruang keluarga, aku melihat mama yang baru saja tiba dari luar kota. Aku pun langsung berhambur ke dalam pelukannya. Aku benar-benar sudah kangen stadium akhir. Hampir dua bulan lamanya aku ditinggal seorang diri.

"Mama kok gak bilang sama Alma kalo mau pulang? Kan Alma bisa jemput Mama ke bandara," ucapku, saat memeluk tubuh mama dengan erat. Aroma parfumnya tetap sama, selalu menenangkan hati.

"Kan supaya surprise, Sayang," balas mama dengan senyum manis. Lantas, mencium keningku penuh kasih.

"Ada oleh-oleh buat aku kan, Ma?" tanyaku dengan mata berbinar. Sekarang mataku terfokus dengan semua barang-barang yang baru saja dibawa masuk oleh supir pribadi mama. Beliau memberi arahan untuk meletakkan barang-barang itu di ruang keluarga.

"Kamu ini, bukannya tanya keadaan Mama. Malah tanya oleh-oleh," jawab beliau dengan menggeleng pelan. Mungkin heran dengan tingkahku. Kemudian setelah itu, mama membongkar kopernya. Menunjukkan semua barang yang akan menjadi milikku. Ah, aku senang sekali.

Aku tertawa pelan, menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal. "Ya, maaf, Ma. Kan Mama biasanya bawa banyak oleh-oleh. Lagian Mama keliatan sehat-sehat aja."

"Kamu ini nggak pernah berubah." mama mengacak rambutku dengan gemas. Sejurus kemudian, ia memperhatikan penampilanku saat ini. "Kamu mau ke mana?" tanya mama, terdengar lembut nan halus.

"Biasa, Ma. Alma mau jalan sama Alwi," balasku dengan semangat. Aku pun hendak bangkit dari dudukku, berpamitan untuk segera pergi menemui. Sebelum waktunya semakin terlambat.

"Kalian berdua masih sering jalan?"

"Sering banget malah, Ma. Gak tau tuh, tumbenan Alwi ngajakin main terus."

"Ya, bagus kalo gitu. Dia bisa memanfaatkan waktu dengan baik."

Aku mengernyit tak mengerti. Memperhatikan mama yang sibuk mengurus semua barang-barangnya. Saat berbicara saja, beliau tak menatap ke arahku. Seperti ada sesuatu hal yang disembunyikan dariku. Dan, aku tak tahu hal itu apa.

"Maksud Mama bisa memanfaatkan waktu dengan baik itu apa?"

Mama hanya menggeleng pelan sebagai respon pertanyaanku. "Ya sudah, sekarang kamu pergi aja. Kasian Alwi nunggu kelamaan," ujar mama dengan mengelus rambutku lembut.

Sejujurnya, aku masih sangat-sangat penasaran dengan maksud ucapan mama tadi. Tetapi, aku juga harus segera bergegas pergi. Lantas, dengan rasa ingin tahu yang masih menyelip, aku berpamitan untuk keluar rumah.

"Alma pergi dulu ya, Ma. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, take care anak Mama."

Aku tersenyum manis ke arah mama, sebelum akhirnya aku benar-benar keluar dari rumah. Bertepatan dengan itu, taxi yang aku pesan baru saja tiba. Aku sedikit berlari untuk segera sampai ke taxi. Setelah aku mengucapkan tujuanku, taxi ini mulai berjalan merayap di antara kendaraan-kendaraan yang lain.

Sebenarnya ada sedikit keganjalan di sini, karena tak biasanya Alwi mengajakku untuk keluar tanpa menjemputku terlebih dahulu. Akhirnya, kita berdua sepakat untuk bertemu di tempat. Tempat yang menurutku juga sedikit mencurigakan. Aku tak mengerti maksud Alwi mengajakku untuk bertemu di pinggir jalan. Ku rasa, ada yang tidak beres.

"Kiri, Pak!" seruku saat mobil ini sudah sampai di halte untuk menunggu angkutan umum. Aku memberikan beberapa lembar uang kepada supir taxi ini, lalu aku pun turun dari taxi. Duduk seorang diri di halte itu untuk menunggu Alwi.

Detik terus berjalan, dan Alwi tak kunjung tiba. Bagiku sang waktu berjalan sangat lambat, aku bahkan sudah tak nyaman lagi untuk duduk menunggu kedatangan Alwi. Setelah bangkit dari duduk, langkahku menuju ke tepi jalan besar. Kepalaku celingukan ke kanan-kiri. Memang pada dasarnya menunggu itu sangat lah membosankan.

Sampai beberapa menit kemudian, Alwi belum juga datang. Semua pesan yang aku kirim pun tak ada yang dibalas oleh dia. Aku menghela nafas panjang, letih menunggu kehadirannya.

Tanpa aku tahu siapa orangnya, ada seseorang yang menutup mataku. Awalnya, aku pikir dia Alwi. Ternyata dugaanku salah, dia menyeretku untuk ikut dengannya. Tetapi, semakin aku memberontak dia semakin menyeretku dengan kasar. Tenagaku pun kalah telak dengan laki-laki yang tak aku ketahui identitasnya.

"Masuk!" ujarnya, terdengar sangat kasar di telingaku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain menurut dengan ucapannya barusan.

"Kalian siapa?!" dengan keberanian yang ada, aku pun bertanya.

"DIAM!"

Nyaliku semakin ciut mendengar sentakan dari dua orang ini. Dalam hati aku berdoa, semoga Alwi bisa menyelamatkan aku. Apalagi ketika kedua tangaku terikat dengan tali, berusaha setenang mungkin menghadapi orang tidak jelas ini, menetralkan detak jantungku yang berdetak tak karuan.

"Turun!" perintah salah seorang dari mereka, setelah mobil yang membawaku entah ke mana ini berhenti. Aku masih berusaha memberontak, tetapi tetap saja aku tak mampu menandingi mereka-mereka.

"Kalian mau bawa gue ke mana?! Jangan bilang mau ngejual gue! Dasar brengsek," ucapku dengan lontaran maki-makian. Namun, mereka tak menjawab ucapanku.

Mereka mengarahkan ku untuk duduk, lantas membuka ikatan tali yang ada di pergelangan tanganku. Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, aku juga membuka kain yang menutupi mataku. Aku hendak marah, hendak memaki-maki orang-oarng tadi, tetapi mulutku kembali tertutup dengan rapat kala orang yang aku lihat pertama kali adalah ... Alwi.

"Surprise!" ujarnya dengan semangat.

Di sini, justru aku yang kelihatan seperti orang linglung yang tak mengerti apa-apa. Aku segera menerima bunga yang sedaritadi disodorkan oleh Alwi. Aku benar-benar tak mengerti dengan maksud semua hal yang aku alami saat ini. Apalagi saat melihat semua dekorasi yang sangat romantis ini.

"Ini ada acara apa? Maksudnya apa, sih?" tanyaku bertubi-tubi, aku benar-benar tak mengerti.

Alwi menggenggam tanganku, menatap lurus ke arah dua bola mataku. Membuat diriku terhipnotis diam tak berkutik sedikit pun.

"Ama ... aku mau minta maaf, karena kemarin aku terlambat tigapuluh menit balas chat dari kamu. Anggap saja ini sebagai tanda permintaan maaf aku," ujarnya dengan bersungguh-sungguh.

Mataku terbelalak ketika mendengar penuturan Alwi. Menurutku, hal dilakukan Alwi terlalu berlebihan. Padahal biasanya meskipun Alwi membalas pesan yang aku kirim pagi hari pada sore hari, tak pernah ada surprise-surprise seperti ini. Memang aneh.

"Kamu ini kenapa, sih? Panas, ya? Kelakuan kamu aneh banget."

"Aku sehat kok. Cuma aku sekarang udah sadar, dalam hubungan kita perlu memori yang indah untuk di kenang, sebelum akhirnya berpisah."

Aku masih tak mengerti.

"Oh, jadi dugaan aku selama ini bener. Kamu mau ninggalin aku gitu? Atau kamu memang mau balikan lagi sama mantan kamu itu? Makanya akhir-akhir ini sikap kamu aneh."

"Nggak gitu ...."

"Udah lah! Aku kecewa sama kamu."

Dengan berlinang air mata, aku pergi meninggalkan Alwi tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.

✨✨✨

LOVES ALL OF YOU (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang