Part 28 : Critical

7.6K 1K 308
                                    

Langit di atas kota cinta, Paris, sudah mulai menjingga. Burung-burung gereja beterbangan, melompat-lompat di tiap atap bangunan. Lautan manusia menyesaki alun-alun kota. Ibu-ibu, bapak-bapak, laki-laki, perempuan, lansia, seluruhnya menikmati suasana sore di Paris dengan pemandangan Menara Eiffel di atasnya.

Tidak jauh di sebelah timur kota, di sebuah Institut kesenian, mahasiswa berhamburan keluar, selesai dengan kelas masing-masing. Tujuan berbeda setelah kampus menjadi hal biasa di kalangan mahasiswa. Selalu ada yang harus dilakukan setelah kuliah.

Namun, berbeda dengan Park Jimin.

Ia duduk di sisi danau kampus, melempari permukaan air dengan kerikil di sekitar kakinya. Kelasnya sudah lama selesai. Dengan tubuh penuh peluh, Jimin memeluk lututnya dengan kepala tertunduk.

Lee Sohyun.

Gadis itu mengacaukan pikiran Jimin akhir-akhir ini. Setelah menerima telepon dari Taehyung seminggu yang lalu, Jimin menjadi bukan dirinya. Ia menjadi banyak diam dan tidak konsentrasi terhadap kuliahnya. Itu semua dikarenakan seorang gadis yang menghilang, Lee Sohyun.

“Aish!”

Jimin mengacak rambutnya. Lalu ia menjatuhkan punggungnya ke rumput. Matanya menyipit karena langit jingga di atasnya menyilaukan.

“Apakah dia sakit? Stres? Atau mungkin…” Kata-katanya terputus. Lalu Jimin menghela napas panjang seraya menggosok wajahnya.

“She didn’t… pregnant, right?”

“Who’s pregnant?”

Sontak Jimin bangun. Wajahnya panik. Saat ia menoleh ke kanannya, seorang gadis berkebangsaan Inggris tengah duduk dengan senyum merekah di wajahnya.

“O-oh, Emma. Kau belum pulang?” tanya Jimin gugup. Ia menggeser bokongnya sedikit lebih jauh dari gadis berambut cokelat di sampingnya itu.

“Belum,” jawab Emma. Senyumnya belum luntur.

“Oh.” Jimin menyibakkan rambutnya ke belakang sambil menatap permukaan air danau.

“Apa yang kau lakukan disini? Kampus sudah sepi.” Emma bertanya.

Jimin berdeham. “Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin bersantai,” jawabnya.

Emma memiringkan kepalanya agar dapat melihat wajah Jimin lebih jelas. “Wajahmu tidak berkata seperti itu.”

Jimin melirik Emma yang menatap wajahnya lalu tertawa hambar. “Jangan konyol.”

“Aku tahu akhir-akhir ini kau sedang merasa terganggu. Tarianmu di studio tidak seenerjik biasanya,” komentar Emma.

Jimin mengulas senyum miring. “Kau membuang waktumu untuk memperhatikanku. Uruslah urusanmu sendiri.”

“Hei,” Emma menyentuh bahu Jimin. Lelaki itu pun menoleh.

“Aku mengerti keadaanmu yang tidak punya teman dari negaramu sendiri disini. Sama denganku. Mulai sekarang, katakan apapun jika kau punya masalah. Kepadaku,” ucap Emma dengan senyum lembut.

Jimin menatap kedua manik karamel milik Emma bergantian. Lalu ia terkekeh sambil menunduk. Tangannya bergerak menurunkan tangan Emma dari bahunya. “Tidak perlu repot-repot. Aku bukan anak kecil.”

“Berceritalah, Jimmy.”

Senyum Jimin langsung menghilang. Kali ini ia menatap lurus ke dalam manik Emma. “Mengapa kau memanggilku seperti itu?”

Emma tersenyum lagi. “Karena aku… ingin?”

“Hei,” Jimin tertawa kecil. “Jangan mengubah namaku seenaknya.”

[myg] Sweet Yet Bitter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang