Nara benar-benar mematikan ponselnya malam itu.
Ia meringkuk di kasurnya, memeluk lutut dengan tatapan kosong yang jatuh pada layar laptop-nya yang menampilkan laporan praktikumnya.
Tidak, Nara tidak punya semangat apapun untuk mengerjakan laporan. Pikirannya jatuh pada sesuatu yang lain.
Ketakutannya mendadak kembali. Sejak ia pergi meninggalkan Taehyung tadi sore, Nara langsung mematikan ponsel untuk menenangkan diri. Tetapi, pada kenyataannya pun Nara sendiri tidak bisa tenang.
Ia butuh Taehyung. Ia butuh lelaki itu di sampingnya. Tak pernah terbesit satu pikiran pun tentang Taehyung akan meninggalkannya. Bahkan setelah dua hari lalu mereka resmi menjalin hubungan yang lebih dari sekadar partner.
Taehyung akan pergi dalam satu minggu. Nara tidak percaya ia melupakan fakta bahwa lelaki itu tidak lama berada di Korea. Cepat atau lambat, Taehyung memang akan pergi. Tetapi Nara sudah terlalu dalam jatuh kepada lelaki itu. Sulit rasanya untuk… melepasnya pergi.
Taehyung memang mengejarnya tadi sore, bahkan mengekornya hingga rumah. Tetapi Nara sama sekali tidak menoleh ke belakang karena ia tidak mau Taehyung melihatnya menangis.
Hei, Nara tidak mungkin menyalahkan Taehyung karena pergi. Bagaimana pun, Taehyung di Paris adalah untuk menyelesaikan studi, dan itu harus dilakukannya agar apa yang Taehyung inginkan dapat terwujud. Nara tidak ingin impian lelaki yang dicintainya hancur hanya karena dirinya.
Tidak. Nara tidak pernah menginginkan hal itu. Ia hanya akan menjadi manusia paling buruk yang pernah ada.
Dua jam yang lalu, Ibunya bilang bahwa Taehyung masih berdiri di depan rumah selama tiga jam sejak Nara sampai di rumah. Jika lelaki itu masih ada di sana sekarang, berarti Taehyung genap lima jam menunggu.
Nara menggigit bibirnya. Memikirkan bagaimana Taehyung menggigil di tengah dinginnya malam benar-benar membuat dadanya sesak. Bagaimana bisa ia membiarkan Taehyung menderita karenanya?
Melihat wajah Taehyung hanya akan memperkeruh suasana. Nara akan semakin menolak lelaki itu untuk pergi, dan itu tidak bagus. Tetapi Nara tahu betul bahwa dengan mendiamkan Taehyung hanya akan membawa masalah yang lebih besar. Lima jam bukanlah waktu yang sebentar. Mungkin Taehyung sudah merasakan kram di sana sini akibat menunggu.
Sudah yang kesekian ribu kalinya Nara menoleh ke arah balkon kamar. Jika saja ia mengeluarkan kepalanya dari pintu jendela, maniknya dapat menangkap Taehyung yang mungkin sedang memasukkan kedua tangan ke dalam jaket, kedinginan.
Sudah pukul 10 malam. Besok ada praktik di rumah sakit pukul 6 pagi. Taehyung harus pulang jika tidak ingin terlambat.
Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya diketuk.
“Siapa?” tanya Nara pelan. Suaranya sudah tidak berbentuk akibat menangis sore tadi.
“Ibumu.”
Itu suara Ibu. Nara pun mempersilakannya masuk.
Kepala ibunya menyembul masuk. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya yang menua.
“Taehyung masih di luar,” katanya. Nara hampir tersedak. Taehyung benar-benar berdiri lima jam di luar.
“Ibu tidak tega melihatnya berdiri kedinginan di sana. Malam musim panas tidak bagus untuk kesehatan. Berkali-kali ibu suruh masuk, tapi dia tidak mau jika bukan kamu yang izinkan.”
Nara mengulur napasnya. Bagaimana bisa Taehyung selalu melakukan hal ekstrim karenanya? Jika begini, Nara makin tidak bisa membiarkannya pergi.
“Ibu tidak perlu menggubrisnya. Nanti juga dia lelah sendiri, dia akan pulang dengan sendirinya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
[myg] Sweet Yet Bitter ✔
FanfictionMin Yoongi bekerja menjadi produser musik di Amerika. Dan disinilah SoHyun, harus menelan utuh hubungan jarak jauhnya dan mencoba bertahan dari rasa rindu. Stat : COMPLETED