Disinilah aku. Duduk sendiri ditepi pantai ditemani dengan cahaya bintang yang berkelap-kelip dengan indahnya dilangit malam ini seolah menghibur rembulan yang kesepian.
Aku memejamkan mataku dan menghirup udara segar yang mengisi penuh paru-paruku. Lalu ku hembuskan perlahan seolah enggan melepas semua udara menyegarkan dari paru-paruku.
Aku masih memejamkan mataku. Seakan enggan membukanya dan kembali ke dunia nyata. Aku merasakan air pantai mulai membasuh kakiku, menambah ketenangan yang kurasakan malam ini. Aku bahagia, alam selalu punya caranya untuk membuatku nyaman. Bercengkrama dengan alam lebih membahagiakan dibandingkan bercengkarama dengan orang-orang yang penuh kepalsuan, membangun tembok tinggi yang menutupi jatidirinya.
Aku masih memejamkan mataku, bahkan sampai aku merasakan ada seseorang yang dengan seenaknya duduk disampingku. Cukup lama aku tak memperdulikannya dan sibuk dengan aktivitasku sendiri.
"Sampai kapan kamu akan memejamkan matamu?" Ucap seseorang disampingku.
"Sampai kamu pergi dan meninggalkan saya sendiri." Balasku acuh.
"Ini sudah malam. Apa kamu ngga takut dipantai sendirian?"
"Saya akan lebih takut kalau Anda tetap ada disini."
"Haha. Kamu lucu. Disaat wanita lain meminta ditemani kepantai untuk melihat bintang bersama. Kamu justru lebih memilih sendiri, wanita mandiri."
"Apa itu pujian?" Aku membuka mataku, dan mengerjapkannya beberapa kali untuk menormalkan penglihatanku.
"Bisa dibilang begitu."
"Maaf. Saya bukan orang yang gila pujian. Jadi jangan pernah memuji saya."
"Kamu beda."
"Semua orang berbeda."
"Tapi kamu beda dari wanita lain yang terkesan manja dan suka dipuji--ya walaupun sebenarnya tadi bukan pujian yang diimpikan semua wanita, mungkin?"
Aku diam tidak menggubris perkataannya barusan. Aku bahkan belum melihat kearahnya sama sekali. Aku pikir percuma. Aku tidak akan melihat wajahnya dengan jelas. Mataku minus dan aku sedang tidak memakai kacamata min ku atau lensa min ku, dan juga aku tidak terlalu jelas melihat saat malam hari.
Aku menghela nafas pelan.
"Bisa tinggalkan saya sendiri? Anda hanya mengganggu saya."
"Tidak akan."
"Keras kepala." Balasku mulai geram.
"Sebenarnya yang keras kepala itu siapa?" Balasnya dan semakin membuatku menahan amarah.
Aku menghirup nafas perlahan setelah itu menghembuskannya. Mencoba menahan amarahku sebisa mungkin.
"Terserah." Balasku malas menghiraukan perkataanya yang hanya menyulut emosi.
"Kalau begitu. Biarkan saya tetap disini menemanimu."
Aku enggan menanggapi perkataannya lagi. Dia hanya mengganggu malam indahku menjadi malam kelabu karena perdebatan kami. Bahkan aku tak tahu siapa dia, dan dengan seenaknya dia mengambil keputusan sendiri.
"Pantas saja ya, setiap malam kamu tidak pernah absen datang kemari. Pemandangan dari spot ini sangat indah."
Hening. Aku tak menjawab tak juga mengabaikannya. Hanya mendengarkan.
Dia menghela nafas lalu menidurkan dirinya dihamparan pasir putih nan halus dipantai ini.
"Wow!" Desisnya tertahan.
"Apa kamu selalu duduk disini setiap malam? Tanpa pernah mencoba tiduran dipasir?" Lanjutnya.
"Ya." Balasku singkat.