1. kembali

3.7K 232 16
                                        

Bab.1
Kembali

Rumahnya tetap sama seperti terakhir kali dia masih disini. Dua bulan lalu. Tentu saja, memangnya berapa lama dia pergi? Hanya dua bulan.

Masih mengamati seluruh seluk-beluk rumah orang tuanya, Alda kembali melangkah semakin masuk. Mulai hari ini hidupnya akan kembali normal. Seperti sebelumnya.

"Sayang, kopernya biar nanti dibawa mang Didin ke kamarmu. Sekarang istirahat dulu." Suara sang Mama terdengar dari tempat Alda.

Papanya berkata jika Alda bisa mengambil kuliah di universitas tempat teman Papanya bekerja sebagai rektor. Meski sudah terlambat beberapa minggu dari jadwal masuk universitas, teman Papanya berkata jika itu tidak masalah. Tentu saja Alda senang bisa langsung memiliki kesibukan selain di rumah.

Dulu mantan suaminya menjanjikan akan mendaftarkan Alda di salah satu universitas swasta di Surabaya. Alda memang sempat mengikuti ospek dan tinggal menunggu jadwal kuliah. Tapi lagi-lagi Alda hanya manusia yang tidak bisa menentukan takdir.

Lelaki itu meninggal dengan membawa semua kekecewaan Alda. Kini dia harus pindah kuliah untuk melanjutkan langkahnya.

"Ma, Alda bisa masuk kuliah kapan?" Tanya Alda dengan suara agak nyaring.

"Besok, Sayang. Tapi kalau kamu masih capek, lusa saja mulai kuliahnya," teriak mama dari arah dapur.

Alda mengangguk paham meski dia tahu mamanya tidak melihatnya mengangguk.

Dengan lelah dia merebahkan diri di sofa ruang keluarga tanpa mandi atau berganti baju.

Perlahan kedua matanya tertutup, membiarkan rasa kantuknya menang.

"Al ...." Mama mengelus punggung putrinya sayang. "Kalau mau istirahat, di kamar saja. Atau kamu mau makan dulu? Sejak tadi pagi perut kamu cuma diisi biskuit dan air putih. Mau Mama suapi, hm?" tawar mamanya.

"No, Mam." Jawab Alda dengan mata yang masih memejam. "Al mau bobok sini aja ya, Mam?" pintanya lemah di antara kantuknya.

Mama menghela nafas sebelum mengangguk. Dengan perlahan, Tia kemudian meninggalkan putrinya di ruang keluarga. Tak apa sekali-kali tidur di sana. Tidak akan ada yang berani memasuki ruang keluarga itu selain anggota keluarga. Untuk lebih amannya, mama berpesan pada seorang asisten rumah tangganya agar jangan membiarkan seorang laki-lakipun yang memasuki ruang keluarga.

***

"Pagi, Pa" sapa Alda saat menuruni tangga. Pagi ini dia memulai harinya dengan tekat dan senyum manis.

Dia akan kuliah mulai hari ini dan menyusun rencana hidup kedepannya.

"Pagi, sayang," jawab papanya bahagia. Anaknya tampak baik-baik saja paska meninggalnya sang mantan suami. "Nanti biar mang Didin yang antar kamu ke kampus, ya?"

"Oke. Papa ke kantor hari ini?"

"Iya dong sayang. Papa punya tanggung jawab yang harus papa kerjakan."

"Iya, Pa." Lalu beralih pada sarapan di depannya. Tangannya meraih sandwich isi tuna buatan mamanya. Rasa familiar langsung tercecap oleh lidahnya. Ternyata dia cukup merindukan masakan sang mama. Meski dia bisa membuat sendiri, entah kenapa tidak bisa sama persis rasanya. Selalu ada yang berbeda.

Setelah menghabiskan tiga potong sandwich, Alda segera meraih tas ranselnya dan mencium tangan papa. "Alda pamit, Ma," ucapnya dengan mencium tangan mamanya. "Alda pamit, Pa." Beralih pada sang ayah dan mencium tangannya.

"Hati-hati, sayang."

"Ya, Ma." Alda berlari kecil menghampiri mobil yang sudah siap di halaman rumah berserta mang Didin yang ada di balik kemudi.

"Pagi, Mang Didin," sapanya begitu memasuki mobil.

"Pagi, Neng. Waduh, udah semangat aja si Eneng."

"Iya dong, Mang."

"Kita berangkat ke kampus, Neng?"

"Iya."

"Oke," ucap Mang Didin sebelum melajukan mobil menuju kampus.

***

Pluk!

"Sialan! Nggak sopan sama yang tua."

"Jadi tua aja bangga," cibir pemuda yang tadi menoyor kepala lelaki itu.

Lelaki itu berdecak tak suka melihat adik sepupunya yang kurang ajar, tapi dia terlalu malas menanggapi ulah pemuda itu. Dia kembali fokus pada layar laptopnya, mengabaikan keusilan sang adik sepupu. Pekerjaannya mengoreksi tugas para mahasiswanya masih menumpuk dan dia tidak mau jika Senin besok masih belum selesai. Terserah saja makhluk usil satu itu merajuk, yang penting pekerjaannya selesai.

"Abang ... ayo sih, temenin Derby." Lelaki itu mendengus dan menatap sengit pada adik sepupunya. Kenapa dengan anak ini sih?

"Pergi sendiri, Der. Penakut banget. Heran, Om Ren bisa punya anak kayak kamu."

"Serem, Bang. Nggak mau ah. Katanya rumah Pak Suryo sudah lama nggak dihuni. Sejak istrinya meninggal, Pak Suryo tinggal di rumah lain."

Lelaki itu mendengus. "Itu kan pekerjaan kamu Der. Hitung-hitung klien pertama kamu."

"Tapi ya nggak rumah tua juga, Bang."

"Ada ya calon arsitek pilih-pilih klien? Kan yang penting mereka berani bayar."

"Ingetin Derby besok-besok bakal nolak yang aneh-aneh. Nafkahin istri sih, nafkahin istri. Tapi kalau merinding gini ogah."

"Istrinya siapa itu?" cibir Lelaki itu.

"Ayolah, Bang. Kali ini aja. Besok-besok Derby kerja di tempat Papa aja deh biar nggak nyusahin Abang." rengekan pemuda sembilan belas tahun itu sungguh mengganggu.

Dengan mengumpulkan kesabaran dan menekan amarahnya dia menutup laptopnya. Tangannya meraih sebuah majalah pertanian milik ibunya yang ada bawah meja dan menggulungnya santai.

Bugh!

"Aduh!"

Lemparannya tepat mengenai punggung adik sepupunya, membuat pemuda itu mengaduh dan meringis.

"Abang!! Dasar dosen lapuk!"

"Cepat jalan. Nggak usah ngomel terus."

Bersungut-sungut pemuda itu bangkit dan melangkah keluar diikuti oleh lelaki itu. Menuju sebuah bangunan rumah tua yang ingin di renovasi pemiliknya.


Tbc
______
Derby : My Little Hero
Ren: jangan sebut aku pedofil

Tumbal Janda Perawan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang