Alda baru saja selesai melipat mukena dan memasukkan kembali ke dalam tas ransel. Saat hampir mencapai pintu di sebelah selatan dia mendengar bisik- bisik para mahasiswa yang membuatnya was- was.
"Janda kembang?"
Deg!
Alda mematung di dekat pintu.
"Iya, gue denger waktu om Doni bicara sama tu janda. Pindahan dari Surabaya. Cantik banget boy." Ucap seorang lelaki yang sepertinya mahasiswa di kampus ini juga.
"Wah.. kambing di bedakin aja menurut lo juga cakep." Sahut temannya bercanda.
"Nggak, ini beneran cakep walaupun dia pakai jilbab." Kekeh lelaki itu.
"Pake jilbab? Biasanya yang pake jilbab itu kan alim."
"Halah. Lo kenapa sok katrok. Banyak tuh yang pake jilbab tapi suka suka aja di gandeng om- om." Sahut lainnya.
"Iya juga sih."
Cukup. Alda merasa was- was jika ada yang tahu statusnya saat ini. Dia tidak siap menjadi bahan perbincangan banyak orang.
Dia cukup nyaman tersembunyi dan aman tanpa pengganggu.
"Udah selesai, Al?" Tanya Naura setelah Alda sampai di taman. Melly dan Nessa tampak tiduran di atas rumput sambil bermain ponsel. Sedangkan Naura tampak mengerjakan tugas di laptop miliknya.
"Sudah." Alda duduk disamping Naura dan mengamati Naura yang sibuk mengetik.
"Eh. Janda kembang yang gue omongin tadi."
Lirih Alda mendengar suara percakapan tak jauh dari tempatnya dan teman- teman barunya duduk.
"Cantik bener. Bening ya."
"Gue juga mau kalau yang itu."
"Biar janda tapi masih kinclong. Tapi kerudungnya lebar tuh."
"Emang kenapa?"
"Gue aja bukan anak Rohis."
"Ya siapa tahu dapat."
"Cocok buat istri kedua."
"Satu aja belum punya."
Alda semakin was- was mendengar celoteh tak berguna itu. Dia memejamkan matanya untuk meyakinkan diri agar bertahan dan kuat. Kekhawatirannya bukan karena pasarannya yang akan turun, tapi kepada sikap semua orang. Jujur saja jika Alda bukan wanita tangguh yang kebal mendapatkan hinaan. Tentu akan sangat membebani pikirannya jika banyak orang yang menggunjing dan menghina dia.
***
Langkah lelaki itu begitu mantap, mulai memasuki kantin. Beberapa mahasiswa yang berpapasan atau sekedar bertemu tatap dengannya, menyapanya sopan. Dia membalas sekedarnya untuk menghargai para mahasiswa-mahasiswi itu. Bukan bermaksud memberi harapan palsu pada para mahasiswi.
Begitu sampai di salah satu kursi di kawasan kantin khusus dosen, dia mendudukkan diri dan memberi isyarat pada seorang pelayan.
Pelayan memang akan melayani para dosen dan staf , berbeda dengan para mahasiswa yang mengambil makan sendiri- sendiri. Fasilitas kampus yang satu itu tersedia untuk para staf dan dosen.
"Pesan apa, pak?"
"Saya pesan nasi soto lengkap. Dan minumnya air putih saja." Pelayan itu mencatat patuh dan segera berlalu.
Dosen bernama Aldevaro itu mengedarkan pandangan mengamati kantin. Tempat khusus dosen dan staf hanya dibatasi kaca tembus pandang dengan wilayah para mahasiswa. Dia bisa mengamati para mahasiswa itu dengan leluasa.
Beberapa dosen yang juga terlihat makan di kantin, menyapa Aldev. Namun tak satupun yang duduk satu meja dengannya. Sifat kaku dan dinginnya membuat orang - orang segan untuk sekedar duduk satu meja.
"Silahkan, pak." Ucapan pelayan yang telah selesai meletakkan menu makan siang Aldev, membuyarkan lamunannya.
Dia mengangguk dan tanpa menunggu si pelayan pergi, Aldev segera menarik mangkuk sotonya lebih dekat untuk dia nikmati. Cuaca yang berawan membuat soto panas itu terasa nikmat. Apalagi jika perut dalam keadaan kosong.
"Janda?"
Sayup-sayup Aldev mendengar percakapan rekan sesama dosen. Bukan bermaksud menguping, tapi suara mereka tidak bisa dikatakan pelan hingga sampai di telinganya.
"Iya, cantik. Dengar-dengar dia baru mendapatkan status janda itu."
"Wah..aku nggak menyangka pak Galih suka sama yang janda-janda."
"Ya bukan. Kalau janda kan biasanya lebih fleksibel. Mereka tidak terlalu menuntut sebuah komitmen. Ada kok tetangga saya yang suka main ke tempat sepupu saya. Kata mereka, hubungan mereka hanya sekedar saling menguntungkan. Kan janda juga pasti butuh belaian."
"Ah..pak Galih kan tidak semua janda seperti itu. Itu janda yang kegatelan saja," bela pak Adi.
Di sisi lainnya, Aldev muak mendengar perbincangan mereka. Waktu kecil dia pernah mengalami hal yang sangat tidak menyenangkan hanya karena mamanya seorang janda. Memang apa yang salah dengan janda? Tidak semua wanita suka dengan status itu. Kadang memang ada yang tidak punya pilihan. Suaminya meninggal atau memang pernikahan mereka tidak bisa di pertahankan. Tapi terlepas dari semua sebab, Janda memang bukan suatu yang pantas di pandang sebelah mata hanya karena beberapa dari mereka yang genit dan suka menggoda. Padahal banyak juga wanita yang masih punya suami tapi kegatelan dan tidak punya malu. Berapa banyak juga wanita single yang genit pada lelaki? Apakah mereka tidak masuk hitungan?
Aldev merasa mereka sangat keterlaluan.
Tbc
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Janda Perawan!
ParanormalAlda haifa. Menjadi janda di usianya yang ke 18 adalah mimpi buruk yang tak pernah dibayangkannya. Bukan keinginannya jika banyak laki- laki menaruh hati padanya..seolah menegaskan citra negatif janda dan bukan inginnya jika dia akan dijadikan tumba...