BAB 6

25 11 7
                                    

Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Ia pergi begitu saja meninggalkan tumpukan pertanyaan untuk Reya dan Radhia. Kesal? Pastinya. Tujuannya kesini adalah untuk mencari tahu nomor Radhia tanpa sepengetahuannya. But it's not the right time. Samudra dipergoki menanyakan nomor itu ke Reya. 

Namun, bukan hanya Samudra yang kesal dengan kejadian itu. Radhia juga. Ditambah lagi dengan rasa bingungnya dengan sikap Samudra setelah ketahuan. Ia pergi begitu saja tanpa sepatah kata yang terucap seperti tak ada hal yang cukup mengejutkan terjadi. Bola mata coklatnya juga melihat wajah Samudra yang terlihat biasa saja. Aneh.

Kelakuan Samudra hari ini adalah sebuah misteri. Misteri yang tidak ingin Radhia pecahkan atau dipikirkan lebih lanjut, karena lebih baik misteri itu hanyut dalam waktu.

*

Radhia dan Reya melihat laki-laki itu keluar jendela. Dengan rasa penasaran, akhirnya Reya bertanya yang membuat Radhia menghiraukan pandangannya, "Siapa dia, Ra?"

"Temen."

"Oh." 

Reya sepertinya bisa membaca apa yang terjadi. Jika ia bertanya lebih lanjut, ia akan membuat semuanya lebih rumit. Tetapi, ia harus menanyakan satu hal penting.

"Ra - "

"Rey, dia itu ambisius. Ada kemungkinan dia bakal nanyain lagi. Kalo misalkan beneran kejadian, jangan dikasih nomor gue ya. Bilang ke karyawan lain juga ya."

Sebuah kebetulan. Pertanyaan yang belum diucap sudah dijawab oleh Radhia dengan lugas. Radhia pun bergegas keluar kafe tanpa basa-basi lebih lanjut. Ia ingin segera pulang.

Hari ini bukanlah hari yang seperti dibayangkannya. Bayangan itu menginginkan hari ini sebagai hari kerja yang biasa saja, tanpa ada insiden-insiden aneh. Sayangnya itu hanya bayangan semata Radhia.

Sesampainya di rumah, ia langsung ke dapur, mengambil teko dan menyeduh air untuk secangkir teh manis yang dapat menetralkan pahitnya hari ini. Selama air itu belum matang, Radhia membaringkan tubuhnya di tempat tidur, memikirkan hal yang tidak ingin dipikirkan sambil melihat langit-langit. Insiden tadi membuat otaknya matang lebih cepat dari air yang ia seduh. Terutama reaksi Samudra yang meninggalkan jejak kebingungan di kepalanya. Misteri tadi tak bisa dikeluarkan dari kepalanya. 

Ngapain dia nanya nomor telepon?  Urusannya apa? Terus, ninggalin kayak ga ada apa-apa aja? Apaan sih, batin Radhia.

Suara nyaring pun terdengar dari kedua telinganya tanda air sudah matang. Ia pun bergegas ke dapur. Ia matikan kompornya, dan segera ia pindahkan teko tersebut. Diambilnya sebuah cangkir untuk air panas tersebut. Ia tuangkan air ke cangkir itu.

"AKH!"

Air panas itu tidak sengaja mengenai tangan Radhia yang sedang memegang cangkir. Pikirannya masih berada di insiden di kafe tadi yang membuatnya sedikit melamun. Akibatnya, tangannya melepuh. Dengan segera ia buka keran di wastafel. Tangannya ia kenakan air mengalir itu sebagai pertolongan pertama.

Sial.

*

10 menit setelah Radhia meninggalkan kafe itu, Samudra masuk kembali ke kafe itu. Reya sedang menunggu kasir yang tanpa sebuah pelanggan. Reya pun menyadari keberadaan Samudra yang berjalan mendekatinya.

"You're Indonesian, right?" Reya mengangguk dengan kebingungan.

"Aku kesini mau minta nomornya Radhia. Boleh?"

Entah apa yang dipikirkan Reya. Ia tidak segera menjawab pertanyaan mudah Samudra. Reya masih terjebak dalam kebingungan dengan insiden tadi yang terulang. Namun, bedanya sekarang tak ada Radhia. 

"Umm permisi," Samudra membuyarkan pikirannya dan dengan segera, Reya menyebutkan nomor itu ke Samudra. Reya tak mendengarkan perkataan Radhia. Tapi anehnya, Reya menyebutkan nomor ponselnya sendiri dengan sengaja.

Apa yang kau pikirkan, Rey?


Samudra Yang (Tak) DinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang