BAB 4

17 10 3
                                    

Kedua kakinya adalah pilar tubuhnya. Jika goyah, tubuhnya akan terjatuh. Itulah yang Radhia rasakan. Ia terdiam di tengah jalanan yang ramai. Air mata yang tak diundang itu pun bercucuran tanpa henti. Badannya gemetar. Kedua tangannya mencengkram kakinya yang tak kuat lagi menopang beban tubuhnya yang dalam hitungan menit akan terjatuh. Kakinya seakan-akan berbicara pada Radhia, bahwa ia tidak kuat menopang beban tubuhnya. Bukan secara fisik, tapi secara mental.

Tapi tidak. Radhia melangkahkan kakinya yang rapuh itu. Ia paksakan. Radhia berjalan dengan susah payah ke lobi apartemennnya dengan air mata yang meluncur. Ia masuk ke lift. Untungnya tak ada siapa-siapa di lift yang bisa melihatnya dalam kesengsaraan. 

Lift itu membawanya pulang. Tak ada cahaya yang meneranginya malam ini. Ditambah dengan gelapnya malam ini. Hanya kegelapan yang memakannya.

Ia hempaskan dirinya ke tempat tidur. Air mata masih dengan konsisten bercucuran melewati batas. Ia tak mengerti. Radhia tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa denganku? Pertanyaan terus muncul di benaknya. Ia tak suka. Radhia tak menyukainya. Kebingungan telah menguasai dirinya yang rapuh itu. 

"Apa aku menangis karenanya?"

*

Sepuluh menit ia terdiam. Samudra berdiri di bawah lampu jalanan yang menyinari kegelapan. Ia menunduk melihat tangannya yang menggenggam lengan gadis tadi. Tampaknya, tidak ada orang yang sadar akan keberadaannya. Samudra hanya dianggap sebagai tiang yang ditengok saja tidak.

Ponselnya pun berdering. Samudra melihat selama beberapa detik sebelum mengangkatnya.

"Halo?"

"Dra? Lo masih lama? Pizzanya udah jadi nih. Nanti ga anget lagi,"

"Oh, gue udah kok. I'll be back in a moment."

Sambungan telepon itu pun mati. Samudra mulai melangkahkan kakinya kembali ke pizzeria. Langkah kakinya melambat dari sebelumnya. Ia masih menunduk. Ia tidak kuat melihat ke depan. Melihat kenyataan bahwa gadis itu melarikan diri begitu saja.

Karpet merah menunjukkan bahwa ia telah sampai di pizzeria. Begitu sampai, ia langsung memakai topengnya. And he turns into a different person. Akan tetapi, topengnya tak menutupi seluruhnya - matanya. Samudra sadar akan hal itu tapi sepertinya ia tidak memerdulikannya.

Ia duduk di tempatnya tadi dan meraih salah satu irisan pizza itu. 

"Dari mana lo?"

"Kepo," 

"Pasti soal cewe,"

"..." 

Samudra hanya diam. Tampaknya temannya tahu apa yang ia alami. Tapi, tetap saja tak akan Samudra bagi. Menurutnya, hal itu malah menjadi hal yang lebih rumit jika dibagi-bagi. Biarkan masalah itu hanya dirasakan olehnya.

*

Enam tahun lalu

"Sendirian?"

"Uh, iya,"

"Ok." 

Samudra pun duduk di depan Radhia tanpa meminta persetujuan. Radhia menyeruput kopi yang ada di dekat sepotong kuenya siang itu. Tak ada dari mereka yang berbicara. Radhia hanya memandang laptopnya yang sedari tadi menyala. Sesekali ia menyuap kuenya itu. Tak lupa dengan kopinya. Terkadang, ia menyeruput kopinya itu.  Samudra hanya duduk melihat kelakuan orang-orang di kafe itu. Sama sekali tidak melihat ke arah Radhia. 

Yes, awkward is the word to describe this situation. Mereka terlalu malu untuk memandang satu sama lain. Memandang saja susah, bagaimana berbicara. Menggerakan mata itu lebih gampang daripada bersuara. Namun, malu memakan mereka. Disaat seperti ini, di antara mereka harus mulai berbicara untuk memecah kesunyian di tengah kafe yang ramai.

"Kayak orang kantoran ya kamu. Ke kafe buat buka laptop gitu."

Radhia melihat ke arah Samudra untuk menghargainya yang sedang berbicara.

"Lagi ngapain sih emang?"

"Ngestalk doi,"

Samudra mengangkat alis kirinya.

"Hahaha," 

Tawa Radhia pun lepas. Samudra pun tersenyum sambil geleng-geleng. Radhia akhirnya menjelaskan. 

"Ini aku lagi buat poster."

"Buat apa?"

"Event,"

"Event apa?"

"..."

Radhia tidak menjawab. Bukan karena tak mau, ia terlalu fokus pada laptopnya dan Samudra tahu itu. Samudra pun berdiri dari tempat duduknya untuk melihat poster itu yang sekarang sudah berada di belakang kursi Radhia. Radhia sama sekali tidak menyadarinya. Ia masih terpaku dengan laptopnya sampai akhirnya Samudra membuka mulut.

"Bagus,"

Radhia terkejut, tapi tidak sampai membuat laptopnya terbang. Ia hanya terdiam dan tidak bergerak selama beberapa saat. Akhirnya ia menoleh, mencari mata Samudra. Radhia menemukan apa yang ia cari. Sama seperti Samudra. Mata mereka akhirnya bertemu dan tubuh mereka terpaku ke bumi.



Samudra Yang (Tak) DinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang