Desy mengamati wajah ayu yang sedang tertidur pulas diatas tempat tidurnya. Menikmati setiap putaran demi putaran mimpi memanjakannya. Hembusan kasar nafasnya seakan sebuah alunan lagu yang menyamankan telinga Desy. Ia berjalan kearah meja belajar si empunya kasur. Meraih tasnya lalu mengambil buku tulis yang sudah sedikit lusuh. Mungkin telah lama termakan waktu.
Tidak ada yang pernah mau berdiri diantara dua tempat yang sama-sama menyakitkan. Hari itu, aku mengikuti semua permainanmu. Membiarkan hatiku terjebak dengan rasa sialan ini. Aku rasa, aku akan tetap baik-baik saja saat menjadi seseorang tersigap untuk segala lukamu. Ternyata aku salah. Aku tak baik-baik saja. Kamu sangat mudah di cintai, kamu sangat mudah di sayangi. Aku terjebak. Maaf. Walaupun kamu selalu bilang "Ci, buat aku sayang sama cici. Aku udah yakin. Aku mau lupain Gre, Lupain semua yang pernah kejadian. Termasuk Kak Lidya." Sebagus apapun kamu mencoba membuka hatimu. Yang aku tahu mereka seolah menghadang semuanya. Kamu kembali menangis. Dan membuatku merasakan perih yang sama. Tapi, aku akan tetap memegang janjiku. Untuk tetap menjadi seseorang yang siap di sampingmu selalu. Sampai saatnya nanti kamu mau membuka hatimu. Atau menutup semua kemungkinan tentang aku. Tak apa. Aku akan tetap di sampingmu, Shani. Selalu
Your Guardian,
Desyalan"Hmmh" Gumaman Shani, membuat Desy panik memsukkan semua alat tulis juga buku saktinya. Ia menoleh kearah Shani. Lalu menghampirinya.
"Udah bangun, Shan?" Shani tersenyum lalu mengangguk.
"Cidesy tidur sini kan? Udah terlalu malem kalo pulang, Ci" Tanya Shani khawatir.
"Hmmm gimana yhaaaaa?" Jawab Desy memainkan wajahnya seakan sedang berpikir.
"Ih jangan bercanda mulu, Ci." Desy langsung terbahak lalu memberikan serangan kearah perut Shani membuat keduanya tenggelam dalam tawa.
"Hahahaha iya-iyaaaaa. Sekarang aku mau gelitikin kamu pokoknya." Celetuk Desy yang terus mengelitiki Shani dab sebaliknya Shanipun mukai menyerang balik.
"Eh wes wes wes, capek aku iki" Keluh Desy yang mulai lemas terbaring di kasur.
"Salahe tah mulai disik toh." Lalu selanjutnya percakapan bilingualnya panjang dengan saling menyalahkan. Sedaaaph.
"Kamu gak laper? Bikin makan dulu yuk?" Ajak Shani yang mulai damai dengan Desy. Sedangkan Desy sudah menyandarkan badannya di ranjang, mencoba menutup matanya yang perlahan berat.
"Iya sana kamu yang bikin. Aku tungguin aja disini." Shani memicingkan matanya lalu memukul Desy dengan bantal dan beranjak dari kasurnya, meninggalkan Desy yang terkekeh geli. Dan melanjutkan tidur nyenyaknya.
Sayangnya Desy tak sepenuhnya tidur. Pintu kamar yang masih terbuka membuatnya langsung tertuju pada gadis yang sudah menyepol rambutnya dengan setelan daster. Membuat Desy tersenyum tanpa sengaja bergumam,
'Hmm, kelar emang kalo urusan sama gadis berdaster.'
Desy menggelengkan kepalanya, tapi tetap memandangi gadisnya yang masih sibuk dengan peralatan dapurnya. Ia mencoba menaikan posisinya agar lebih jelas melihat Shani yang dengan luwes bercengkrama dengan apa yang ada di dapur. Ia menyerah, tak ada yang lebih jelas dari memeluknya. Desy berjalan keluar, langsung memeluk Shani dari belakang. Menghirup bahu gadisnya dengan sayang. Membuat Shani tersenyum. Sejak ia memutuskan untuk berpacaran dengan Desy secara dadakan beberapa waktu yang lalu, Desy selalu bisa memperlakukannya dengan penuh perhatian. Melebihi Lidya.
"Suka iseng kalo aku masak. Tadi kan tidur" Ledek Shani yang masih tetap fokus dengan masakannya. Hawa panas Tepat di depan punggung tangan kanannya pun ia hiraukan, ia semakin mempererat pelukannya, menarik nafas dari ceruk leher Shani. Seolah Shani memang sebuah candu untuknya. Shani melepaskan spatulanya, memegang tangan Desy lalu berbalik kehadapan Desy. Wajah keduanya semakin dekat, membiarkan nafas keduanya saling menyentuh wajah masing-masing. Tangan Shani merogoh kearah belakang, memutar katup kompor untuk mati. Kini kedua tangannya di biarkan melingkari leher Desy, dengan sekali tarikan bibir keduanya bertemu. Tak banyak pergerakan, sampai Shani menarik Desy agar bisa lebih dekat lagi. Mengkikis jarak keduanya. Perlahan Shani menggerakkan bibirnya, menggigit nakal bibir bawah Desy. Dengan gerakan pelan keduanya kini telah di dalam kamar Shani yang sedari tadi memang terbuka. Saat kaki Desy menyentuh kaki ranjang Shani, ia membalikkan posisinya. Shani telah dalam perangkap Desy, merasa kehabisan nafas ia melepaskan ciumannya. Setelah itu Desy menurunkan ciumannya di bahu Shani yang sedikit terexpose.
KAMU SEDANG MEMBACA
Some piece of Lidya
FanfictionSepenggal lantunan nada, menggambarkan keadaan hatiku.. LMD, Kang Jejogedan, 20 Tahun