Part 12 - A failed plan

179 29 34
                                    

  Malam yang dingin membuat suasana menjadi beku. Malam mencekam dingin berantai, membayanginya dalam lamunan. Berhiaskan cahaya obor yang temaram. Malam yang asing adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya. Di gelapnya malam, para warga membawa lima tandu menuju arah dalam hutan. Hening, tiada suara. Hanya terdengar suara-suara binatang yang bersembunyi dibalik rerumputan.

Para tumbal semuanya duduk anteng di tandu, sepi, tiada suara. Tangan mereka diikat kuat dan tentunya tak dapat melepaskan diri. Aile si gadis yang berada di tandu urutan kelima, terlihat gelisah. Ia terus mencoba melepaskan tangannya yang terikat. Ia melirik ke tirai tandu yang sedikit terbuka, rasanya ia semakin dalam saja memasuki hutan.

Hutan ini adalah wilayah 'sang tetua' itu. Banyak pohon besar menjulang tinggi disana. Langit saja tertutupi oleh rerimbunan pohon. Tak lama mereka berhenti di dekat sungai, tandu pun diturunkan. Mereka disuguhi pemandangan sungai yang gelap dan tenang. Aile meneguk salivanya sendiri, ia merasa mulai takut. Para tumbal diseret paksa untuk mendekati sungai. Semuanya tidak memberontak dan tidak mencoba melepaskan diri. Mereka berlima hanya saling bertukar kontak mata, seakan menenangkan satu sama lain.

Para tumbal didudukan di atas rerumputan berhadapan dengan sungai yang terbilang menyeramkan. Kali ini kaki mereka diikat agar tidak bisa lari. Satu obor diletakkan di pinggir sungai. Mereka kembali saling lirik, ini benar-benar menegangkan. Beberapa orang mulai bernyanyi, lantunan nada pemanggil 'sang tetua' berjalan dengan mengerikan. Mereka berlima terus saling melirik satu sama lain, wajah mereka dilanda panik secara bersamaan.

Seorang wanita paruh baya maju menghampiri mereka berlima, ia memercikkan air di atas ubun-ubun mereka sambil membaca mantra. Aile yakin bau aroma airnya adalah wangi bunga. Seusai itu, para warga pergi meninggalkan lima tumbal di pinggir sungai—tanpa membawa lima tandu tadi.

Saat sudah merasa keadaan aman, mereka berempat mengesot kearah Aile tergesa-gesa. Aile menghembuskan nafas pelan melihat mereka yang berlomba-lomba kearahnya. Tak sesuai rencana, pikirnya.

"Cepat lakukan sesuatu!"

"Kau harus melepaskanku terlebih dahulu!"

"Enak saja, aku yang terlebih dulu sampai!"

"Aku takuttt...bisakah aku duluan?!"

"Bisakah kalian diam?! Jangan ribut, aku tidak bisa konsentrasi nih." Aile meninggikan suaranya. Ia mencoba melepaskan ikatan ditangannya dengan serpihan kaca. Ya, sejak awal ia terus menggenggam serpihan kaca di tangannya. "Aww," lanjutnya sambil meringis, ia merasa darah segar mulai mengalir di tangannya. Tak mau merasakan sensasinya, ia kembali menyayat tali ditanggannya.

"Kau baik-baik saja?" tanya gadis berpakaian paling cerah itu. Aile mengangguk, meski dalam hatinya ia tidak baik-baik saja.

"Tempat ini sangat menyeramkan."

"Kau benar, rasanya aku ingin berteriak."

Dua gadis itu saling berkomentar tentang sungai itu. "Tangan dan kakiku mulai terasa sakit, aku tidak tahan lagi," lanjutnya.

"Apa kau sudah selesai?"

"Sebentar lagi," kata Aile.

"Lihat! Lihat di sungai itu! Dia datang!" panik salah satu gadis, serempak mereka melihat ke arah sungai. Dan benar saja, sebuah perahu muncul dibalik kabut.

Aile mempercepat menyayat tali di tangannya, tak peduli tangannya kembali terluka. Ia hanya menggigit bibir bawahnya menahan perih. Takut sang tetua akan datang, mereka berempat bersembunyi di belakang tubuh Aile. Waktunya benar-benar tidak tepat, rencananya kemungkinan gagal.

Perahu itu mulai mendekat dan kini terlihat sesosok makhluk aneh yang mengerikan. Angin langsung menerpa wajah mereka, pepohonan bergoyang cepat sesuai irama. Wajah makhluk itu tidak terlihat jelas, nampaknya bertanduk. Mereka berempat lantas berteriak histeris.

Another DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang