Dua

16 2 0
                                    


Juni, 2017.

Suasana di dalam rumah itu selalu sepi. Hanya ada percakapan satu arah, layaknya bicara pada tembok. Nero tidak pernah berhenti mengajak Alice berbicara, meskipun ia tahu usahanya tidak akan pernah membuahkan hasil. Dia tersenyum, tertawa, dan menatap Alice sama seperti saat wanita itu masih baik-baik saja.

Seperti saat ini, televisi di ruang tamu itu bersuara tanpa ada yang benar-benar memperhatikannya. Alice bersandar dalam pelukan Nero dan memejamkan matanya. Sementara itu, ia berusaha menggerakkan tangan kanannya untuk membalas genggaman tangan pria itu. Tangan Nero yang selalu terasa hangat, bahkan di saat cuaca sedingin es.

"Kamu belum ngantuk, Lice?" Tanyanya dengan lembut, yang hanya di balas dengan suara nafas Alice yang pelan tetapi teratur. "Setelah ini kamu harus istirahat, ya."

Kemudian, hening lagi. Nero melihat tangannya yang menggenggam tangan Alice. Pria itu tahu kalau Alice sedang berusaha menggenggam balik tangannya. Kebalikan dari tangan hangat milik Nero, tangan Alice belakangan ini selalu terasa dingin, padahal saat ini sedang musim panas. Ia tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi pada wanita yang sekarang berada di dalam pelukannya itu.

Tapi setelah Nero memikirkannya, semua hal yang tidak terduga bisa saja terjadi pada Alice. Hal yang paling buruk sekalipun, kemungkinan besar tidak akan terluput dari kehidupan wanita itu. Alice yang sekarang hanya bisa pasrah dan menunggu waktu yang tepat untuk...

Untuk...

Ah, Nero tidak sanggup membayangkannya. Ia tidak ingin membayangkannya.

Jam dinding berdentang tujuh kali. Seharusnya, ini waktu bagi Alice untuk tidur, namun entah kenapa pria itu tidak ingin segera menggendong Alice dan meletakkannya di atas tempat tidur. Nero masih ingin bersama dengan Alice, sedikit lebih lama lagi. Nero masih ingin merasakan suhu dingin dari tangan Alice. Nero masih ingin mencium wangi vanilla yang menguar dari rambut Alice. Nero masih ingin meihat wajah Alice. Nero menginginkannya.

Alice sendiri sudah menyerah untuk menggenggam tangan pria itu. Ia menatap tangannya dengan muram. Rasa marah, kecewa, dan sedih tercampur semua di dalam hatinya. Ia ingin menangis lagi, tapi ia berusaha untuk menahannya. Alice tidak ingin melihat Nero ikut sedih, meskipun wanita itu tahu kalau tanpa melihat dirinya menangis sekalipun, pria itu sudah sedih.

Maafkan aku, Nero... Batinnya.

Mata Alice melihat ke arah televisi, dan saat itu sedang ada acara yang bertemakan kekeluargaan. Sepasang suami istri dan dua orang anak mereka. Pancaran kebahagiaan yang tulus tidak bisa disembuyikan dari wajah pasangan itu. Apalagi saat kedua anaknya berlarian mengelilingi mereka...

Tenggorokan Alice tercekat.

"Kamu mau aku matiin televisinya?" Tanya Nero sambil meraih remote dari atas meja.

"J.. Ng.." Ucap Alice. Ia menolehkan wajahnya dari menatap Nero. Pria itu meletakkan remote itu ke tempat semula.

Mereka bahagia, Nero. Mereka bahagia... Ucap Alice dalam hati. Ia menatap televisi itu dengan senyum samar dan air mata yang mulai menggumpal di pelupuknya. Nero ikut melakukan hal yang sama dengan Alice, namun ekspresinya sedih. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu.

"Setiap orang punya cara sendiri untuk bahagia, Alice," Sahut Nero tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. "Caraku bahagia adalah setiap hari bisa melihat kamu. Itu sudah lebih dari cukup buat aku." Tangannya semakin erat menggenggam tangan Alice, seakan-akan kalau ia melepasnya, Alice akan pergi saat itu juga.

RemembranceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang