Lima

9 1 0
                                    

Juli, 2017.

Nero menatap Alice yang kini tengah berbaring di atas tempat tidurnya. Kedua mata wanita itu terpejam, tetapi Nero tahu kalau ia masih belum terlelap. Nafasnya juga sudah mulai teratur. Bagi Nero, saat ini Alice terlihat baik-baik saja. Dan itu membuatnya semakin takut. Ia takut kalau tiba-tiba saja semuanya akan berubah, dan keadaan akan berbalik seratus delapan puluh derajat.

Bukannya aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini? Pikirnya sambil mengelus jari tangan Alice. Ia menolehkan kepalanya ke arah jendela dan menatap langit. Semenjak ia pindah ke daerah dataran tinggi ini, setiap hari rasanya sepi, namun tidak tenang. Udara sejuk yang seharusnya meyegarkan pikiran, malah membuat dadanya terasa sesak. Setiap hari pikirannya selalu penuh dengan kalimat 'bagaimana jika..." yang membuatnya merasa semakin tertekan.

Tanpa sadar, Nero menggenggam tangan Alice dengan sangat erat. Hal ini membuat wanita itu membuka matanya dan menatap Nero. Dengan penerangan cahaya lampu dari luar, Alice bisa melihat dengan jelas ekspresi sedih Nero. Sejak tadi pria itu tidak berhenti menampakkan kesedihannya.

Nero... Jangan sedih. Batin Alice. Dalam hati ia juga berharap agar bisa membalas genggaman tangan Nero, untuk sekali saja.

"Alice, kenapa kamu belum tidur?" Tanya Nero.

Alice terdiam. Ia menggelengkan kepalanya.

"Kamu harus istirahat, ayo."

Lagi-lagi, wanita itu menggelengkan kepalanya. Entah mengapa muncul dorongan yang kuat dalam dirinya untuk bangun sebentar lagi saja. Ia tahu ada saatnya nanti ia akan benar-benar merasa mengantuk dan terlelap.

"Jangan lama-lama, kamu harus segera istirahat."

Alice menganggukkan kepalanya dan tersenyum samar. Senyuman itu membuat dada Nero tiba-tiba terasa sesak dan kedua matanya panas. Kapan terakhir kali ia melihat senyuman yang muncul di wajah Alice? Hatinya merasa senang, tetapi juga sedih. Sampai kapan ia bisa melihat senyuman itu? Berapa lama lagi?

"Aku rindu senyuman itu," Ucap Nero dengan suara pelan.

***

Agustus, lima tahun yang lalu.

Hari itu, Alice berlari tergesa-gesa setelah mengangkat sebuah telepon, adalah hari terakhir Nero melihat Alice. Semenjak saat itu, ia belum pernah melihat Alice lagi. Ini sudah tepat satu bulan. Gadis itu tidak muncul saat lomba, gadis itu tidak ada di sekolahnya. Gadis itu tiba-tiba saja menghilang. Nero sudah bertanya pada Lita mengenai Alice, tetapi Lita juga tidak tahu. Lita sudah mencoba menghubungi Alice, tetapi Alice tidak pernah mengangkat telepon ataupun membalas pesannya.

Sepanjang yang Lita tahu, Alice pulang kembali ke rumah Ibunya untuk mengurus pemakaman Tara. Setelah itu, tidak ada kabar apapun dari Alice. Pihak sekolah sudah mengeluarkan peringatan, bila Alice tidak segera masuk maka gadis itu akan dikeluarkan dari sekolah.

"Masih nggak ada kabar dari Alice, Lit?" Sepulang sekolah, Nero mendatangi sekolah Alice dan bertemu dengan Lita.

Lita menggeleng dengan lesu. "Belum, Ner. Aku sudah coba hubungin rumahnya tapi nggak ada yang angkat juga," Katanya. "Mungkin mereka masih berduka. Maklum, Tara itu kesayangan mereka semua."

Nero menghela nafas panjang. "Padahal baru aja aku mau nyatain perasaan," Ucap Nero yang segera dibalas oleh wajah kaget dari Lita.

"Hah?! Kamu sama Alice kan baru aja kenal!" Serunya dengan berapi-api. "Memangnya apa yang buat kamu yakin kalau Alice bakalan terima pernyataan cintamu?" Lita mendengus sambil memutar bola matanya.

RemembranceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang