Empat

5 1 0
                                    


Alice menatap jari Nero yang masih setia menggenggam tangannya. Wanita itu berpikir berapa lama lagi waktu yang ia miliki untuk dapat merasakan kehangatan tangan Nero. Ia berpikir, berapa lama lagi waktu yang ia miliki untuk dapat duduk dan bersandar di sini bersama Nero.

Angin berhembus pelan, membuat tubuh Alice sedikit menggigil. Dengan sigap, Nero merapatkan cardigan yang Alice pakai dan memeluk wanita itu lebih erat lagi.

Nero merasa tubuh Alice semakin terasa dingin. Entah karena suhu di luar atau karena hal lain. Tapi sungguh, Nero berharap itu hanyalah karena suhu udara di luar pada malam hari yang terasa dingin. Pria itu menghela nafas pelan.

"Badan kamu dingin banget, Lice," Ucap Nero dengan suara pelan. "Kamu yakin baik-baik aja di luar gini?" Tanyanya.

Alice mengangguk. Badanku memang terasa dingin, Ner. Tapi hatiku rasanya hangat, tenang... Sahut wanita itu di dalam hati sambil menatap kedua manik mata Nero. Mata yang sanggup membuatnya jatuh hati. Mata yang selalu memandangnya dengan lembut, tidak pernah sekalipun memandangnya dengan tatapan mengejek.

"Ya sudah kalau begitu. Yang jelas, kita nggak boleh di sini sepanjang malam," Pria itu balas menatap Alice. "Kamu... Harus istirahat juga."

Nero memalingkan pandangannya ke langit malam itu. Dirinya tidak sanggup menatap kedua mata Alice yang sayu itu terlalu lama. Hatinya hancur setiap kali melihat pancaran rasa menderita yang dirasakan Alice lewat tatapan matanya itu. Apalagi, ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada.

Alice merasa dadanya sesak. Ia kesulitan bernafas tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Nero tentang hal ini. Sebagai gantinya, ia menarik nafas dalam-dalam sambil berharap 'fase' sesak nafas ini bisa segera berakhir. Hal itu membuat Nero merasa ada yang aneh dengan Alice. Ia mendengar nafas Alice yang tersengal.

"Alice, kamu kenapa?" Tanya pria itu dengan khawatir.

Alice masih saja menarik nafas berulang kali. Nero semakin panik. Detik berikutnya, ia sadar kalau wanita itu sedang sesak nafas. Mungkin ada hubungannya dengan udara yang semakin dingin. Nero segera bangkit dari tempat duduknya dan masuk kembali ke dalam rumah.

"Sayang, tarik nafas lebih dalam," Nero memangku Alice dan menatapnya dengan ekspresi kebingungan. Ia takut. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu Alice kembali bernafas dengan normal. Kumohon, jangan sampai hal yang buruk terjadi pada Alice. Kumohon... Jantung Nero berderap kencang.

Untung saja, beberapa saat kemudian Alice bisa kembali bernafas dengan normal.

"Mungkin kamu kelelahan hari ini. Kita masuk ke kamar saja, ya?" Tanya Nero yang segera dijawab oleh anggukkan kepala dari Alice. Ia menggendong Alice masuk ke dalam kamar dan meletakkan wanita itu di atas ranjang, kemudian menyelimutinya.

Nero duduk di pinggir ranjang sambil mengelus puncak kepala Alice. Ia kembali memperhatikan Alice. Kedua pipinya yang kian hari semakin terlihat tirus, lengannya yang sekarang malah terlihat seperti tulang yang terbungkus oleh kulit, dan berat badan Alice yang selalu turun, hampir setiap hari.

Aku terlalu egois. Batin Nero.

***

Juli, lima tahun yang lalu.

Alice menatap pintu kayu yang ada di depannya itu dengan wajah cemas. Kemarin, ia menguatkan tekadnya dan membuat janji dengan salah satu dokter di rumah sakit ini, seperti yang disarankan oleh dokter puskesmas beberapa hari yang lalu. Ia meremas kedua tangannya yang sudah berkeringat dingin itu.

RemembranceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang