Satu

40 3 0
                                    

Juni, 2017.

Wanita itu duduk di atas kursi rodanya sambil menatap langit yang saat ini mulai berubah warna menjadi oranye. Senyuman samar yang ia keluarkan mampu menutupi wajah pucat pasinya. Tapi sayang, senyuman itu hanya bertahan sebentar saja. Detik selanjutnya, wajah itu kembali terlihat pucat dan muram.

"Kamu ngapain di sini?"

Gadis itu membuka mulutnya. "A..ng..it.. B..gus.." Jawabnya dengan susah payah. Ia berusaha mengangkat tangannya untuk menunjuk langit yang ia maksudkan, tapi usahanya gagal.

"Di luar dingin, kamu masuk aja, Alice.."

Alice—wanita tadi—bergeming. Ia masih setia menatap langit itu. Pria di belakangnya berjalan ke sebelah Alice dan duduk di sana dan ikut menatap langit yang saat ini perlahan berubah jadi gelap. Suara binatang malam mengisi keheningan yang tercipta diantara mereka.

Pria di sebelah Alice itu bernama Nero.

Nero melirik Alice yang berada di sebelahnya. Pria itu tahu, Alice sedang menderita dan sangat rapuh. Ia menghela nafas panjang dan kembali menatap pemandangan di depannya. Beberapa saat kemudian, Nero berdiri dan mendorong kursi roda itu masuk ke dalam rumah karena udara di luar sudah semakin dingin.

"Kamu besok terapi lagi, ya?"

Alice menatap wajah Nero. Dari tatapan itu, Nero tahu kalau wanita di depannya ini menolak untuk melakukan terapi. Belakangan ini, hal itu semakin membuat Nero khawatir. Pria itu berusaha menghilangkan semua pikiran negatif yang mulai bermunculan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang dan berjalan ke dapur untuk membuatkan Alice teh hangat.

Sementara itu, Alice menatap lurus ke depan tanpa bisa berbuat apa-apa. Perlahan, butiran air mata menuruni pipinya, awalnya perlahan, namun semakin deras. Isakan pelan keluar dari mulutnya. Tangannya tidak bisa bergerak untuk menghapus air mata itu. Berkali-kali ia mencobanya, hasil yang ia dapat selalu gagal.

"Alice, ini teh buat ka─" Ucapan Nero terhenti karena melihat air mata Alice. "Alice, Sayang... Kamu kenapa?" Pria itu meletakkan cangkir di atas meja dan berlutut di depan Alice, lalu jempolnya bergerak untuk menghapus air mata itu.

Tangisan itu tidak mau berhenti keluar dari mata Alice.

"Ssshh..." Nero mengelus puncak kepala Alice. "Sudah.. Jangan nangis lagi, Lice. Aku nggak tega lihat kamu begini..."

Beberapa saat kemudian, tangisan itu mulai berhenti. Nero segera mengambil cangkir teh itu dan memegangkannya untuk Alice. Ini kebiasaan Alice. Kalau ia sedang sedih, ia pasti membuat teh dan menghirup wangi teh itu. Alice juga menyukai uap hangat yang menguar dari cangkir itu.

Nero juga pernah mencobanya, dulu.

Dulu.

Nero menatap Alice yang sedang memejamkan matanya sambil menikmati uap hangat itu. Ia menatap Alice dengan wajah sendu, sambil berharap dalam hati supaya semuanya akan baik-baik saja, meskipun hati kecilnya tahu, kehidupannya saat ini jauh dari kata 'baik-baik saja'. Tapi ia harus bangkit. Kalau tidak, semuanya akan jadi semakin buruk.

Tiba-tiba saja, telepon rumah mereka berdering.

"Sebentar, aku angkat dulu, ya," Nero meletakkan cangkir tadi ke atas meja dan berjalan untuk menerima telepon itu. "Halo," Sapanya pada si penelepon.

RemembranceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang