Juni, 2017.
"Sudah pagi...?" Gumam Nero sambil mengerutkan dahinya karena sinar matahari yang masuk ke dalam rumah. Aku ketiduran, pikirnya.
Kemudian seperti biasa, Nero segera bangun dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Setelahnya, pria itu segera berjalan ke dapur dan membuatkan segelas teh hangat kesukaan Alice sebelum membangunkan istrinya itu.
Ya, istri.
Kebiasaan ini sudah dilakukannya selama hampir lima tahun belakangan ini. Sejak dokter mengucapkan dengan jelas bahwa Alice terkena penyakit Ataxia*, Nero harus menggantikan seluruh pekerjaan yang seharusnya dilakukan Alice. Tapi ia melakukannya dengan senang, selama dirinya bisa melihat Alice tersenyum dan tertawa.
Selesai Nero menyeduh teh itu, ia membawanya masuk ke dalam kamar dan berjalan ke sampir ranjang untuk membangunkan Alice. "Alice, Sayang... Bangun, aku sudah buatkan teh untuk kamu."
Tidak ada reaksi.
"Alice...?"
Masih tidak ada reaksi dari Alice. Wanita itu masih memejamkan matanya. Jantung Nero mulai berdegup kencang. Jangan... jangan hari ini, kumohon... Ucapnya dalam hati. Dengan perasaan campur aduk, pria itu mengangkat tangan Alice dan mengecek pergelangan tangannya.
Detik selanjutnya, jiwanya serasa menguap.
Tidak ada detak kehidupan yang Nero rasakan.
"Alice... Kamu sedang bercanda, kan? Ini nggak lucu, Lice," Kata Nero dengan suara bergetar. "Ayo, bangun, Alice." Ia menggucang tubuh Alice. Tapi harapannya pupus, Alice tidak bergerak sedikitpun. Ia diam.
"Alice... Sayangku..."
Nero menangis. Selama bertahun-tahun, baru kali ini ia mengeluarkan tangisan yang sesungguhnya. "Kenapa... kenapa..." Isaknya. "Setidaknya beri aku kesempatan untuk melihat senyumnya yang terakhir kali.."
Saat itu, hanya ada tangisan pilu yang memenuhi rumah kecil mereka. Kosong. Tidak bernyawa.
***
"Bu, yang sabar, ya..." Ria merangkul Ibunya sambil menahan tangis. "Kita semua kehilangan Kak Alice.."
Lita berdiri di samping Ria sambil menangis. Baginya, kepergian Alice sungguh mendadak. Ia tidak akan menyangka sahabatnya akan pergi.. Hari ini.
Alice... Aku harap kamu bahagia. Batin Lita sambil mengusap wajahnya dengan tisu.
Nero menjauh dari kerumunan orang yang sedang berdiri mengelilingi makam istrinya itu. Ia lelah karena menangis seharian, tapi air matanya tidak mau berhenti keluar. Sekeras apapun Nero mencoba untuk tegar, ia hanya akan berakhir dengan merasakan kekosongan dan rasa sakit yang ditimbulkan akibat kepergian Alice. Firasatnya benar.
"Alice..." Gumamnya pelan.
"Nero, maaf Ibu menganggu kamu," Ibu Alice datang dan menatap Nero. Suaranya bergetar hebat. "Tadi pagi, saat kamu menelepon Ibu, Ibu sedang membereskan kamar Alice. Mungkin itu juga pertanda kalau Alice sudah pergi.."
Kemudian hening, lama sekali.
"Lalu, Ibu baru ingat, dulu, satu hari sebelum pernikahan kalian, Alice memberikan sebuah surat kepada Ibu..."
Juni, 2012.
"Alice, kamu nulis apa, nak?" Ibu Alice masuk ke dalam ruangan dan duduk di pinggir ranjang anak perempuannya itu.
"Alice barusan aja nyelesaiin surat buat Nero, Bu."
"Surat buat Nero?" Ulang Ibunya.
Alice mengangguk. "Rasanya semakin sulit untuk menulis. Aku yakin tulisanku pasti sudah sangat jelek," Ia tersenyum miris. "Bu, Alice minta tolong.."
"Minta tolong apa, nak?"
"Tolong... Ibu simpan surat ini dan berikan pada Nero kalau Alice sudah pergi nanti."
"Alice, jangan bicara yang aneh-aneh,"
"Nggak, Bu. Alice serius. Alice mohon..."
Ibu menghela nafas dan mengangguk dengan perasaan campur aduk.
Juni, 2017.
Nero menerima surat itu dan menggenggamnya erat. Ia menatap amplop putih tersebut selama beberapa saat. Tapi pada akhirnya, pria itu memutuskan untuk membukanya.
Halo, Nero...
Kedua matanya disambut oleh tulisan yang tidak rapi. Tapi Nero tahu, ini jelas tulisan Alice.
Kalau kamu sudah pegang surat ini, itu berarti aku sudah nggak ada lagi. Maaf kalau aku terpaksa harus meninggalkan kamu. Maaf, karena selama ini aku sudah banyak merepotkan kamu. Kamu harusnya bisa bersantai sepulang kerja, tapi harus sibuk mengurus rumah juga. Aku memangg bukan istri yang baik. Maafkan aku, Nero. Maaf juga karena ketika kita menikah, kita tidak bisa sebahagia pasangan lainnya. Kita tidak bisa punya anak, tidak bisa melihat anak pertama kita berjalan sendiri, tidak bisa mengantar anak kita masuk untuk pertama kalinya ke sekolah... Justru sebaliknya, setiap hari kita hanya bisa melihat rumah sakit, obat-obatan, kursi roda, dan air mata.
Tapi, Nero... Terimakasih karena sudah mencintaiku. Aku bahagia. Terimakasih atas waktu-waktu yang kita lalui bersama. Terimakasih atas kenangan indah yang selalu bisa membuatku tersenyum. Terimakasih karena kamu sudah menikahiku. Aku tidak tahu berapa banyak kata terimakasih lagi yang sanggup aku sebutkan di sini. Tapi pada intinya, terimakasih, Nero. Kamu membuatku merasa hidup kembali setelah aku putus asa dengan kondisiku selama ini.
Nero, selamat tinggal.
Kamu harus bahagia selalu ya, demi aku.
Aku mencintaimu, selalu.
--ALICE
*Ataxia: adalah penyakit yang menyerang otak kecil dan tulang belakang dan menyebabkan gangguan pada saraf motorik.Penderita akan kehilangan kendali terhadap saraf-saraf motoriknya secara bertahap dan makin lama kondisi fisiknya akan makin parah!Awalnya mungkin penderita hanya akan merasa lunglai saat berjalan, lalu penderita akan sering terjatuh, tidak bisa menggapai barang dalam jarak dekat, penderita ingin bergerak tetapi tidak bisa bergerak, penderita ingin bicara tetapi tidak bisa bicara, tetapi penderita tidak kehilangan kecerdasannya dan tetap mengerti akan keadaannya. (wikipedia)

KAMU SEDANG MEMBACA
Remembrance
Jugendliteratur"... Waktu, tanpa kita sadari bisa merubah apapun yang ada dalam kehidupan kita. Waktu, yang dengan kejam tidak membiarkan kita untuk kembali ke masa yang telah berlalu, walaupun sekedar merasakan kebahagiaan kecil yang pernah kita rasakan."