Tiga

9 1 0
                                    

Juni, 2017.

Keadaannya masih sama, hanya ada suara isak tangis yang memenuhi ruangan gelap itu. Pikiran mereka berdua berkecamuk, hati mereka merasa takut akan apa yang terjadi setelah ini. Alice dan Nero paham betul, kalau kebersamaan ini tidak akan bertahan lama.

"Maafin aku karena buat kamu nangis lagi, Alice," Bisik Nero ditelinga wanita itu. "Maafin aku..."

Alice menggelengkan kepalanya. Aku yang seharusnya minta maaf, Nero. Aku sudah terlalu banyak nyusahin kamu selama ini. Seharusnya... Kamu bisa bahagia. Bukan seperti ini. Maafkan aku... Ucapnya di dalam hati.

Jam berdentang delapan kali. Sudah satu jam mereka berdua duduk di sana tanpa melakukan apapun selain menikmati setiap keheningan yang tercipta di antaranya. Nero tidak keberatan, selama ia masih bisa mendekap tubuh Alice yang semakin lama semakin terasa dingin. Mengingat hal itu, Nero segera mengambil cardigan kuning kesukaan Alice yang disampirkan pada sandaran sofa dan memakaikannya pada wanita itu.

"Kamu pasti kedinginan, Lice," Katanya dengan suara parau. "Kita masuk ke dalam kamar aja, ya?"

Alice menggeleng pelan. Ia masih ingin di sini, dengan posisi seperti ini, sampai nanti ketika ia sudah merasa waktunya untuk tidur. Ia juga tetap ingin merasakan hangat tubuh Nero, yang membuatnya tahu kalau dirinya masih ada di sini. Ia berharap Nero tahu apa yang ia maksudkan.

Tapi... Tanpa Alice berharap pun, Nero selalu tahu apa yang Alice maksudkan.

Karena bagi Alice, bersama Nero ia merasakan apa yang di sebut pulang ke rumah. Melihat wajahnya, mendengarnya berbicara... Alice tahu ia akan baik-baik saja, selama ia bisa pulang ke 'rumah'nya. Ia sangat tahu.

Tangan Nero bergerak untuk mematikan televisi.

"K... Uar.." Ucap Alice.

"Keluar? Di luar dingin, Alice."

"In.. Tang,"

Nero menghela nafas. Ia menggendong Alice dan hendak meletakkannya di atas kursi roda, namun wanita itu menolak. Dan detik selanjutnya, Nero dan Alice sudah duduk, dengan posisi yang sama di atas lantai teras yang dingin. Tidak seperti biasanya, langit malam itu penuh dengan bintang, disertai bulan purnama yang membuat sekeliling mereka jai lebih terang.

Sepi... Namun terasa nyaman.

***

Juli, lima tahun lalu.

Sudah satu bulan belakangan ini, Alice merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Dan semuanya sama persis dengan apa yang dulu pernah terjadi pada seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang akhirnya harus menderita karena hal itu.

Dan sudah sejak satu bulan belakangan ini juga, berawal dari kejadian di SMA Garuda itu, Alice dan Nero menjadi teman. Semua berjalan begitu saja, tanpa direncanakan. Beberapa kali mereka bertemu di sekolah Nero karena Alice harus mengikuti pengarahan lomba yang akan dilaksanakan tiga minggu lagi di bulan Juli ini.

Dan selama Alice berada di sekolah Nero, pria itu tidak pernah terlihat absen dari sebelah Alice. Di mana ada Alice, disitu ada Nero. Begitu pula sebaliknya. Nero melakukannya karena ia tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Apalagi pelakunya adalah Bagas, anak paling keras kepala yang pernah ada di SMA Garuda.

"Harusnya kamu nggak perlu sampai gini," Ucap Alice saat mereka berdua berjalan di lorong menuju ke gerbang depan. "Jadinya malah ngerepotin kamu."

Nero terkekeh pelan. "Seharusnya gue hitung berapa kali lo ngomong gini,"

"Habisnya aku merasa kamu jadi nggak bisa bebas," Alice melirik Nero sekilas. "Jadi nggak ke kantin, nggak main di lapangan, dan yang paling penting, kamu nggak masuk ke kelas." Gadis itu memutar bola matanya.

RemembranceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang