Part 1

22.6K 579 6
                                    

Aku, seorang gadis nerd yang selalu dipandang rendah oleh teman-temanku. Namaku, Alisya Netahara Drosta. Nama panggilanku Alisya. Terkadang juga dipanggil Sasya. Bahkan dengan panggilan Alisa aku juga menerimanya.

Aku anak tunggal dari seorang Raka Drosta dan Steffani Drosta. Untungnya keluargaku hidup di keluarga yang harmonis. Ayahku seorang polisi, sedangkan ibuku mempunyai butik terkenal di kotaku. Meskipun mereka sibuk mencari uang untuk memberiku secuil nasi, tapi waktu kebersamaan masih tetap terjaga. Itulah hal yang membuatku sayang pada orang tuaku.

Sekarang umurku masih 16 tahun, aku kelas dua SMA di SMA favorite di daerahku, SMA Nusa Bakti. Diumurku yang 16 ini, aku belum pernah merasakan apa itu kasih sayang seorang kekasih. Aku paham, laki-laki tampan bahkan dibilang tidak tampan juga tidak akan mau dengan gadis aneh seperti aku.

Meskipun ibuku ahlinya dalam merias diri, aku tak mau bergabung dalam keahliannya. Aku lebih suka penampilanku yang dibilang cupu oleh orang lain, karena ada sesuatu yang mengganjal dihatiku dan masih kupendam sampai saat ini.

Meskipun begitu, aku punya sahabat dari kecil yang setia bersamaku. Bahkan ia berbeda seratus delapan puluh derajat denganku, namanya Sherly. Sherly tampak cantik, modis bak model internasional. Matanya hitam sekelam malam, rambut hitamnya panjang sampai sepinggang, kulit putih bersih, bulu matanya cantik, tinggi semampai, bibir ranumnya yang menggoda kaum laki-laki, bahkan bodinya? Sudah seperti gitar spanyol.

Aku? Ya ada kesamaan sedikit lah. Hanya saja aku tidak modis seperti dia. Aku bahkan mengakui bahwa aku selalu terlihat cupu dan aneh dengan kacamata yang setia bertengger di hidung mancungku, rambut yang selalu aku kepang, dan behel yang menempel manis di gigi. Semenyeramkan itukah aku?

Meskipun begitu, Sherly paham dengan alasan mengapa aku tidak mau mengubah penampilanku yang cupu ini menjadi modis seperti dia. Sherly tidak bisa memaksaku berubah menjadi seperti dia. Sebagai sahabat tentunya dia tahu, aku cukup keras kepala. Bahkan batu hampir sama dengan sifatku.

Sudah cukup basa-basinya. Bahkan aku tidak sadar bahwa aku sudah melamun terlalu lama, 60 menit berlalu dan lembar jawabku masih kosong.

Kulihat waktu masih kurang 30 menit. Aku mengejar ketertinggalanku karena lamunan unfaedah tadi.

30 menit untuk menyelami soal-soal sejarah lebih menyenangkan daripada harus berenang dalam matematika.

Bel sudah berbunyi, dan tepat waktuku untuk menyelesaikan soal-soal ujian ini. Untung saja semalam aku sudah belajar, setidaknya aku paham dan bisa mengerjakan soal-soal tadi.

Kulangkahkan kakiku keluar, dan mataku mencari keberadaan gadis cantik bak dewi, Sherly.

"Sherly! Kantin?" Tanyaku saat dia berjalan ke arahku.

"Gue traktir." Ucapnya seraya menggandeng tanganku.

Aku hanya mengulaskan senyum tulus meskipun terlihat aneh di wajahku. Bodo amat.

Saat itu kantin sudah ramai, sehingga tak dipungkiri jika meja kantin sudah penuh. Untungnya Sherly punya teman yang bayak. Bahkan hampir semua benar-benar cantik dan tampan. Dan Sherly mengajakku duduk di bangku temannya. Apa aku sudah terlihat seperti bebek diantara angsa?

Kulihat satu persatu dari tiga cowok dan satu cewek teman Sherly. Meskipun aku sudah bersahabat dengan Sherly sejak kecil, tapi belum tentu yang menjadi temannya adalah temanku juga. Aku tipikal orang pendiam, ya aku tidak banyak mengenal orang-orang, bahkan teman sahabatku sendiri.

Para angsa bahkan tak menganggapku ada. Aku tercampakkan disini. Aku diam, mengamati sikap teman-teman Sherly, dan menampakkan wajah polos nan luguku itu.

"Eh gue lupa, kenalin temen gue. Dia Sasya." Aku refleks mendongak ke wajah Sherly. Lalu beralih ke seseorang yang tak kukenali yang menjulurkan tangannya.

"Darrel." Ucapnya acuh. Kujulurkan tanganku dan menjabat tangannya yang putih itu.

Oh, ini namanya Darrel. Ya Tuhan, lembut sekali tangan seorang pria. Tidak ada dua detik, dia menjatuhkan uluran tangannya lalu disembunyikan dibalik saku jaketnya.

"Semua orang sama aja." Batinku

Lalu kuulurkan tanganku untuk menyalimi pria kedua. Tapi dia tak mengangkat tangannya, bahkan melihatkupun juga tidak. Matanya masih terfokus pada handphone miliknya yang kuyakini itu puluhan juta rupiah.

"Zidan" hanya itu yang keluar dari bibirnya. Sherly menatapku kasihan. Tapi aku membalasnya senyum tipis saja. Aku bahkan terbiasa dengan orang-orang yang bersikap sinis seperti itu.

Pria yang ketiga, lebih sadis.

"Cupu banget lo." Ucapnya sarkastik. Tatapan matanya juga tajam. Dia bahkan nggak bilang namanya siapa.

"Santai Do." Ucap cewek yang belum kukenal.

"Do? Namanya komodo?" Batinku tertawa.

"Adelyn." Tangannya terulur untuk menjabat tanganku.

Aku terperangah, tanganku refleks membalas uluran tangannya. Kulihat deretan gigi putih dengan senyum menawan itu. Mana ada laki-laki yang tak mau dengannya. Senyumnya manis, tapi seperti ada sesuatu yang ia rencanakan. Aku tak tahu itu, dan tak mau tahu. Itu bukan urusanku.

"Main kerumah gue ya?" Ucap Adelyn ramah. Kedipan matanya seolah menghipnotisku untuk menjawab 'ya'. Senyumnya, mencurigakan.

"Ah, iya." Kujawab dengan anggukan dan sedikit keraguan.

CUPU ●[END]●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang