Aidan merutuki kebodohannya sendiri. Cowok dengan balutan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung sampai sikut itu memukul mukul kepalanya. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Laki laki itu lalu menatap langit langit kamarnya yang berwarna putih gading.
"Coba gua biarin aja. Palingan nambah ancur tuh muka si cewek gila" desisnya pelan sambil menutup mata.
Ceklek.
Pintu kamar Aidan terbuka. Sontak, si pemilik kamar langsung mengarahkan pandangannya ke arah pintu sambil mengernyitkan dahinya.
"Halo.." ucap seorang cowok dari balik pintu.
Cowok itu mendekat diiringi senyum terbaiknya dan langsung menduduki bibir kasur. Tatapan cowok itu layaknya mengintimidasi, lalu sepersekian sekon kemudian berubah menjadi ulasan senyum hangat yang terpatri diwajahnya.
"Ngapain lo kesini? Bosen idup lo Palembang?" tanya Aidan ketus ke arah cowok berbadan tegap itu.
Si Cowok hanya terkekeh pelan. Sifat sepupunya yang satu ini tidak pernah berubah. Selalu saja ketus dan menyebalkan.
"Gua rindulah sama lo Dan, ya kali gua gak boleh nemuin sepupu tercinta gua?" tanya si cowok itu dengan mengedipkan satu matanya.
Aidan bergidik ngeri lalu melemparkan sebuah bantal ke arah cowok itu. Cowok itu meringgis lalu kembali melemparkan bantal ke arah Aidan.
"Berhenti, Kelvin Nathaniel!" teriak Aidan kesal.
Cowok dihadapannya aka Kelvin aka sepupunya langsung terkekeh. Kegiatan menyenangkan yang selalu ia rindukan. Membuat Aidan kesal setengah mati.
"Sanolah pegi be kau*" tutur Aidan yang kini menggunakan bahasa palembang.
Kelvin mendengus, baru saja dua puluh menit menginjakkan kaki dirumah sang sepupu tercinta udah main asal ngusir aja tuh anak.
"Gak rindu ama gua apa, Bang?"
"Abang jahat elah, adek Kelvin merasa tersakiti" sambung Kelvin yang langsung membuat Aidan mendelik.
"Berenti manggil gue Abang!!" teriak Aidan.
Seketika juga Kelvin lantas bangkit dan berlari kecil menuju ke arah pintu sambil memeleti Aidan. Aidan hanya bisa mendengus, udah ketemu cewek sinting disekolah sekarang harus ketemu sama sepupunya yang juga sinting.
****
Inara tersenyum bahagia. Cukup dengan Aidan yang membelanya mampu membuatnya bersorak riang. Setidaknya, kehadiran Inara sekarang terlihat dan tidak terabaikan.
Inara masih tersenyum pandangannya kini terarah ke langit- langit kamarnya. Bagi Inara, hari ini adalah yang indah. Hari yang bisa jadi adalah suatu anugrah dari doa-doa yang selama ini ia panjatkan kepada Tuhan.
"Inara, ada temen kamu dibawah". suara lembut khas Miranda menggema. Inara mendengus lalu menjawab panggilan dari sang Mama dan bergegas menuju ke bawah.
Inara yang kini tengah menuruni anak tangga mendengus. Lagi asyik-asyik mikirin si abang Aidan tercinta malah diganggu. Lagian siapa sih? Malem- malem begini bertamu gak berfaedah banget.
Langkah kaki Inara perlahan melambat seiring dengan kerutan dahinya. Cewek dengan setelan daster rumahan itu memicingkan kepalanya lalu berteriak histeris.
"A..Aidan?" tatapannya kini membulat sempurna.
Matanya mengerjap berkali-kali diiringi mulutnya yang terbuka lebar. Ini Inara yang ngigau, apa emang beneran itu si es batu Aidan?
KAMU SEDANG MEMBACA
AIDAN
Teen Fiction" karena ngeliat lo dari kejauhan itu ga enak ". Inara Resty Pramesty. Cewek berumur enam belas tahun yang sudah hampir setahun menjadi secret admirer. Tujuannya hanya satu melihat Aidan walau hanya dari jauh. Semuanya kelihatan mustahil. Aidan yang...