1

434 38 2
                                    

1

Sudah dua puluh menit kami duduk berhadapan, dengan dua gelas kopi panas yang sudah dingin di atas meja, dia hanya menunduk dan tidak menatapku sedikit pun sejak awal dia datang. Dia tak pandai berkata-kata, sedangkan aku sudah terlalu lelah untuk berkata-kata.  Masih pantaskah kami untuk bersama? Ini hubungan yang rumit, aku tak tahu bagaimana melanjutkannya begitu juga mengakhirinya. Aku tak tahu siapa yang salah. Mungkin aku yang salah telah memulainya, atau mungkin aku salah memilih orang untuk dicintai.

“Aku ingin mengakhiri hubungan ini.” Sudah hampir satu tahun yang lalu aku ingin mengucapkan hal itu, tapi aku hanya mampu mengucapkannya dalam hati. Bibir ini rasanya beku. Aku tak sanggup lagi.

Air mataku sudah tak sanggup menetes, sudah terlalu biasa keadaan yang seperti ini. Seperti mayat hidup yang tak memiliki hati. Hatiku rasanya sudah mati. Bukan, bukan karena aku iri pada bagaimana manisnya orang-orang yang memiliki hubungan. Aku tahu dia berbeda, itu bukanlah caranya mencintai seseorang.

Masalahnya, apa dia mencintaiku?
Aku tidak yakin

“Ada yang ingin kau bicarakan?” Tanyaku, sudah beribu kali kami bertemu dan pasti aku yang harus bertanya pertama.

“Ya.” Dia akhirnya menaikkan kepalanya. Wajahnya terlihat, mata indahnya mulai menatapku. Mata yang mana membuatku sakit kala melihatnya. Aku melihat banyak hal yang disembunyikan dan tak akan pernah aku mengerti.

Kami sudah menjalani hubungan hampir dua tahun, tapi aku tak pernah mendengar bagaimana perasaan dia yang sebenarnya padaku. Jangan tanya apakah kencan kami menyenangkan seperti pasangan lainnya. Tentu saja tidak! Sejak beberapa bulan kami kencan, dia bekerja di luar kota. Sekalinya dia mengunjungiku tak ada hal yang menyenangkan. Dia hanya mengajakku bertemu di suatu tempat, jalan-jalan dan sedikit bicara. Jika sekalinya ia bercerita itu juga karena aku yang meminta. Namun, dia tidak pernah bicara lebih dari sekitar tiga puluh detik.

Jangan tanyakan bagaimana aku bisa bertahan! Itu bisa membuatku gila, karena sampai sekarang aku juga tidak tahu mengapa aku masih mempertahankan hubungan ini dan juga masih mencintai dia.

“Iya apa yang ingin kau bicarakan?” Aku mulai meremas genggaman pada gelas kopiku. Untung saja tidak pecah.

“Aku dipindah tugaskan ke kota ini.” Dia kembali menunduk dan membuang matanya.

Orang yang berpacaran di luar sana, jika sudah menjalankan hubungan dua tahun mungkin mereka sudah sangat dekat dan mungkin juga akan menikah. Selama ini hubungan kami tidak sedekat itu, dia bahkan tak pernah mengucapkan hal manis. Jangankan untuk bersentuhan, berciuman, berpelukan menatapku saja dia tidak bisa. Dia benar-benar kaku seperti patung. Entah kaku atau dia tidak menyukaiku.

“Lalu?” Aku melipat tanganku di atas pahaku. Meremas sedikit kain denim celanaku. 

“Kita bisa sering bertemu.” Dia akhirnya menaikkan kepalanya kembali dan menatapku.
Mengulaskan sedikit senyumnya dalam tiga detik, hanya tiga detik. Walaupun sebentar itu sangat berarti bagiku.

Sebagaimana aku marah, sebagaimana aku benci pada dia yang kaku, saat dia memperlihatkan sedikit senyumnya aku akan kembali luluh dengan mudahnya. Maka dari itu, mengapa aku mudah ter sakiti olehnya.

Love Letter ✔ Leo Vixx FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang