25

18.8K 2.4K 583
                                    

Kau memang tidak sekuat aku, namun yang harus sama-sama kita akui aku tidaklah setabah dirimu dalam memperjuangkan perasaan ini.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam, halo, Gam. Gue cuma mau reminder lo, lusa lo harus ikut, bro. Soalnya Bang Syafiq sama Bang Shaka belum ada konfirmasi akan pergi." ucap suara orang itu cukup kencang. Ia tahu Agam tengah di jalan karena suara bising knalpot kendaraan, oleh karena itu ia lebih mengencangkan suaranya agar Agam mendengar.

"Gue nggak bisa. Gue ada sidang paginya. Bisa-bisa gue datang sore. Emang acaranya jam berapa, Hid?"

"Kita mulai kumpul jam 8. Tapi kalau lo bisanya sore apa kita perpanjang sampai buka puasa bersama?"

"Nggak usah begitu, nanti cuma gara-gara gue jadi molor acaranya. Gue nggak setuju."

"Berasa penting banget lo ngomong begitu. Masalahnya kita memang kekurangan panita. Sumbangan sebanyak ini masa cuma 6 orang panitianya. Lagi pula yang buat gue bingung, ada tiga tempat dan itu berarti butuh ekstra tenaga, bro."

"Gue masalahnya nggak bisa ijin sidang, bro. Itu kasus emang dari awal gue yang tangani. Jadi..."

"Lo bisanya jam berapa? Pokoknya kita ubah jadwal aja kalau begitu." putus Wahid cepat.

"Sidang selesai gue langsung datang. Paling cepat sampai jam 2 paling lama jam 4 sore."

"Oke. Jangan lupa info bro ke yang lain,"

"Ke siapa?"

"Ke Nada," goda Wahid dengan tawa yang cukup keras di sebrang panggilannya.

"Gue serius, bro."

"Gue juga serius, dia loh yang usaha ke sana ke sini untuk acara ini. Dia yang kumpulin semua sumbangan ini sampai membludak. Alhamdulillah banget. Berkah acara dipimpin sama dia. Walau usianya masih muda tapi dia sudah menunjukkan pemimpin yang baik. Jadi gue harap lo bisa konfirmasi ke dia. Kalau lusa lo datang ya. Jangan buat dia pusing cari tenaga bantuan untuk jadi panitia,"

Tanpa suara, Agam mengangguk sebagai jawaban. Sampai panggilan itu terputus, pikiran Agam hanya bisa melayang. Dalam hati ia terus bertanya, apa benar inikah jalannya? Semakin ia menjauh, selalu saja ada jalannya untuk berdekatan dengan Nada. Semakin ia berdoa untuk diberikan jawaban, Tuhan seolah mendengar doanya. Tanpa perlu ia ragukan, ada saja jawaban dari doanya itu.

"Mudah-mudahan memang dia jalan terakhirku," gumam Agam sebelum memakai helmnya kembali.

Hari ini ia memang sengaja berkendara menggunakan motor. Selain menghemat waktu, motor juga lebih irit untuk urusan bahan bakarnya. Bukan berarti ia menjadi orang yang pelit. Namun selagi bisa menghemat mengapa harus menghambur-hamburkan uang. Bukannya ia tahu sendiri kalau mencari uang itu tidaklah mudah.

Harus dengan kerja keras, bahkan cacian serta hinaan melengkapi semua itu. Jika Agam kurang-kurang kuat dalam bertahan, sejak awal pastinya ia sudah terpuruk.

Sampai kini pun Agam hanya bisa tersenyum miris jika mengingat semua itu. Bagaimana dulu perjuangan awalnya menjadi Jaksa tidaklah mudah. Harus ada pengorbanan besar untuk mendapatkan sesuatu yang besar pula. Bahkan kala itu Agam merelakan sakit hatinya, demi mendapatkan batu loncatan dari keluarganya.

Keluarga? Masihkah orang-orang itu keluarganya?

Saat sadar dari pikirannya sendiri, ternyata ia sudah sampai ke tempat yang sejak tadi ingin ia tuju. Beberapa orang yang tampilannya mirip dengannya nampak keluar masuk tempat itu. Mungkin jika Fatah yang berada di sini, sudah di rukiyah olehnya tempat tersebut. Tetapi tujuan Agam di sini jelas. Ingin menjadi lebih baik. Seperti saran dari Adit beberapa hari lalu. Jangan karena ada masalah fokusmu berhijrah jadi memudar.

Mr. Baihaqi (Tersedia Di Bookstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang