Bunyi bel nyaring yang tak kunjung berhenti membuat Salma semakin panik. Di saat-saat seperti inilah ia sangat menginginkan kakinya yang pendek itu untuk memanjang. Seenggaknya 5 cm aja udah cukup, kok!
Tapi takdir memanglah takdir. Kenyataan memanglah kenyataan. Salma benar-benar ingin menampar dirinya sekarang. Apa sih susahnya dari bangun pagi, sarapan dengan tenang, dan masuk sekolah tepat waktu?
Salma merengut, mata besarnya yang tersamar oleh kacamata super tebal itu kini terkunci dengan ubin putih di ruang kelasnya.
Telat di hari pertama? Duh, nggak banget deh.
Setelah 5 menit penuh dengan omelan dan nasihat, Salma pun masuk dan duduk di kursi terdepan, tempat yang selalu dihindari dan selalu kosong.
Selama pelajaran berlangsung, Salma tidak sama sekali mengharapkan akan ada yang mengajaknya berkenalan. Ia sendiri juga tidak tertarik untuk memperkenalkan diri. Salma sendiri bukanlah tipe orang yang bisa bersosialisasi, untuk masuk ke lingkaran seseorang saja sudah membuatnya merinding.
Ketika semua murid berkumpul bersama di kantin, lapangan bola, lapangan basket, dimanapun itu, Salma hanya diam di tempatnya, sepasang earphone menggantung di kedua telinganya. 20 menit istirahat pertama itu sangat berharga baginya, karena hanya disaat itulah Salma baru bisa benar-benar tidur.
Ketika gurunya memberikan tugas kelompok, Salma akan selalu meminta gurunya untuk memisahkan dirinya sendiri dari semua kelompok. Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri dibandingkan bersama. Lebih efektif, cepat, dan nggak repot di pihak manapun.
Setiap harinya ia lewati dengan rutinitas yang sama, dan Salma tidak pernah sekalipun berbicara dengan satupun murid di sekolahnya.
Menurut Salma, teman itu merepotkan, belum kalau-kalau ada drama diantara mereka. Duh, abisin waktu banget.
Katanya sih, masa SMA itu masa-masa paling indah. Tapi bagi Salma, masa SMA Itu harus dilewati dengan serius. Gak boleh ada main-main. Cowok? HELL FREAKING NO.
Satu tahun berlalu dengan cepat, dan Salma pun naik ke kelas sebelas dengan peringkat satu dari angkatannya. Kelas sebelas terletak di lantai paling atas dan di gedung B, satu lorong dengan kelas dua belas.
Kenapa kelas 10 diasingkan dari kelas 11 dan 12? Yah, alasannya sih supaya gak tercemar oleh kakak kelasnya yang super-duper sesat. Tapi Salma sendiri pun tidak begitu peduli. Ia hanya perlu bertahan 2 tahun lagi, dan kalau ia bisa menghindari semua sumber masalah, kenapa harus khawatir?
Sampai suatu hari, tepatnya di ruang kelas XI IPA 1, perspektif Salma terhadap dunia pun berubah seratus delapan puluh derajat.
Semua karena satu cowok yang super duper menyebalkan, yang tiba-tiba saja seenak udel masuk mencampuri hidup Salma yang selama ini berjalan mulus.
Gabriel Guntur Adiputra.
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Reasons
Teen Fiction"Semua orang itu berhak untuk bahagia, termasuk lo sendiri. Mulai hari ini, gue bakal sebutin seratus alasan kenapa lo pantes untuk bahagia. Gue bakal bikin lo senyum setiap hari, Sal." Salma menunduk, menghindari tatapan cowok di depannya itu. Ngom...