.
.
.
"Oma, Salma pulang," setelah menaruh sepatu sekolahnya di rak, Salma berjalan menuju kamar neneknya, hanya untuk menemukan neneknya yang sedang tertidur. Tumben tidur jam segini?Salma berjalan menuju dapur, dan menemukan kertas kecil yang di tempel si pintu kulkas.
Salma, tante ada urusan bisnis di luar kota, belum tau berapa lama. Kalo butuh apa-apa, ada uang di meja depan. Jagain oma kamu ya.
Salma menghela nafas panjang. Jujur, ia capek. Percaya atau nggak, Salma jarang sekali melihat tantenya yang workaholic itu. Bahkan sepertinya hampir tidak pernah pulang. Salma tidak pernah memiliki seseorang yang benar-benar mau mendengarkan ceritanya. Ia hanya bisa memendam semuanya. Bahkan neneknya sendiri pun tidak pernah menyukai Salma.
Semua orang mengabaikannya, dan Salma tahu jelas itu.
.
.Lagi-lagi, otak Gabriel hanya dipenuhi dengan wajah Salma.
"G, lo mau makan bakso apa kecap manis, sih?" ujar Sam dengan tatapan aneh begitu melihat sobatnya yang tak kunjung berhenti menuangkan kecap manis ke mangkoknya. Gila, itu kuah item kali?
Gabriel mengedipkan matanya, tersadar dari lamunan siang hari. "YA TUHAN! Lo kenapa gak setopin gue?!" Teriaknya kaget dengan mata yang membulat, "bakso gue..... sudah ternodai oleh-"
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan deh, dosa lo udah gak bisa ditampung lagi, tau? Lagian lo kenapa sih beberapa hari ini? Kok kayak lo nyembunyiin sesuatu dari gue?"
Gabriel menghela nafas panjang, sambil mengaduk kuah baksonya yang berwarna pekat. "Ah... Sam, ini bakal manis banget nih. Gue kan udah manis, kalo nanti gue diabetes-"
"JANGAN BIKIN NAFSU MAKAN GUE ILANG ANJ-" Baru aja Sam mau menonjok wajah sahabatnya itu, Erika, cewek pujaan angkatan kelas 11, tahu-tahu saja sudah berdiri di samping meja mereka.
"Kak, gue mau ngomong sama lo," ujarnya sambil menatap Gabriel yang hanya bisa bengong, "tapi gak disini."
Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.
Sam menghela nafas sabar melihat Gabriel yang seolah berhenti dengan waktu. "Emang punya sahabat bloon tuh lebih banyak bikin depresinya,"
"Hah?" Gabriel menatap Erika dan Sam bergantian, disusul dengan alisnya yang perlahan mengkerut.
"Dih si tompel! Dijawab itu elah jangan bengong doang!"
"Untuk kesekian kalinya Sam, gue kasih tau ke lo, bahwa ini, yang ada di bawah mata kanan gue, bukanlah TOM-PEL. Ini merupakan tahi lalat kecil yang sudah ber-"
"Kok jadi gue yang dicuekin, sih?" Kali ini, Erika yang angkat bicara.
"Tau tuh lo G. Udah sana pergi, ga sopan lo sama cewek,"
Gabriel yang masih merasa bingung pun berdiri, mengikuti Erika sambil sesekali menoleh ke arah Sam. Ada perlu apa cewek ini dengannya?
Sesampainya di ruang serbaguna, Erika langsung berbalik badan, membuat jarak diantara mereka berdua begitu dekat. "Lo tau gue, kan?"
Kalau bukan karena tubuhnya yang cukup tinggi, mungkin Gabriel akan langsung terintimidasi dengan adik kelasnya satu ini. Gabriel akui, Erika memang cantik dan proporsional. Sempurna dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Lo mau ngomong apa?"
Erika tersenyum, tatapannya terkunci pada Gabriel. "Gak usah basa-basi dulu, nih?"
Gabriel mengernyit. "Ngapain basa-basi? Gue cuma ngingetin, barangkali lo pikun gitu ya. Waktu istirahat itu tinggal 10 menit lagi, dan seperti yang lo liat tadi, bakso gue belom gue sentuh. Perut gue butuh asupan, jadi boleh tolong langsung ke intinya aja?"
Erika terkekeh, lalu meraih kedua pipinya. "Gabriel, Gabriel. Lo tuh emang bener unik ya. Jadi pacar gue, yuk?"
Gabriel yang kaget mendengarnya pun hanya bisa bengong. Apa dia bilang? Jadi pacarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Reasons
Teen Fiction"Semua orang itu berhak untuk bahagia, termasuk lo sendiri. Mulai hari ini, gue bakal sebutin seratus alasan kenapa lo pantes untuk bahagia. Gue bakal bikin lo senyum setiap hari, Sal." Salma menunduk, menghindari tatapan cowok di depannya itu. Ngom...