Part 4

14 2 0
                                    

Secara tiba-tiba tumbuhan jalar bergerak memperlihat apa yang ia sembunyikan. Dinding tinggi, terdapat pintu ditengahnya. Di pintu itu terukir seperti bunga matahari sangat besar. Di dalam bunga itu menunjukkan sebuah lambang berbentuk hexagon yang terukir begitu rapi. Tapi kemudian tumbuhan itu bergerak mendekati Akra. Akra segera sadar dari keterpukauannya, membalikkan badan, berlari menghindari kejaran tumbuhan jalar yang mau menerkamnya. Kakinya berhasil dililit oleh tumbuhan itu.

Akra mengayunkan samurainya, mengarahkan ke benda yang melilit di kakinya. Namun, kaki satu lagi juga ikut terlilit. Akra berupaya untuk keluar dari lilitan itu. Dengan semurai yang ia gunakan dan beladiri yang ia pelajari, akhirnya ia berhasil keluar dari portal. Dan kembali ke desa Asdaten.

Di hari yang sama, di kediaman kakek Hatar. Kamga menunggu tabib desa tetangga yang ia panggil tadi pagi. Kabarnya ia akan datang siang ini. Kamga tampak hilir mudik di teras rumah, terkadang ia ke dalam mengecek kondisi kakek Hatar.
"Kamga..." panggil Kakek Hatar, saat Kamga sedang di dalam rumah. Kamga segera menghampiri orang yang memanggilnya.

"Kenapa kek? Ada yang sakit? Bagian mana yang sakit? Ada sesuatu yang kakek butuhkan? Tunggu sebentar kek... tabibnya akan datang." Cecar Kamga.

"Tidak ada yang sakit, aku cuma minta tolong." Jawab kakek Hatar mencoba menyandarkan punggungnya. Kamga dengan sigap menolong.

"Kakek minta tolong apa?" tanya Kamga.

"Bisa kamu, ambilkan buku di dalam laci nakas itu." ujar kakek Hatar seraya menunjuk nakas yang dimaksud.

Kamga mengeluarkan buku yang diminta kakek Hatar dari laci nakas. Buku yang kira-kira setebal 4 cm, terdapat garis-garis emas yang menghiasi covernya, terbalut oleh secarik kain merah.

Kamga memberikan buku itu pada kakek Hatar.

"Ini milikmu." Ujar kakek Hatar. Mendorong buku itu kembali ke Kamga.

"Duduklah." Pinta kakek Hatar. Kamga menuruti, duduk di kursi samping kakek Hatar.

"Selama ini, aku belum menceritakan siapa dirimu sebenarnya. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan kepadamu, aku merasa waktu semakin dekat."

"Jangan mengatakan seperti itu kek, bagiku kakek adalah orang tuaku" ujar Kamga.

"Tapi tetap saja, aku harus mengatakan ini padamu. Suatu subuh, aku terbangun oleh suara tangisan bayi, mengira itu hanyalah tangisan Akra tapi tangisan itu berasal dari kamu. Aku pergi ke depan rumah, menemukanmu dalam keranjang bayi, diselimuti dengan selembar kain merah dan buku itu terselip diantaranya." Jelas Kakek Hatar.

"Jadi kakek tidak tahu siapa orang tuaku?" tanya Kamga, menyibak kain merah yang menyelubungi buku itu.

"Aku tidak tahu, buku ini yang menjadi petunjuknya. Maafkan aku yang tidak mencari orang tuamu." Ucap Kakek Hatar.

"Tidak usah meminta maaf kek, aku justru berterimakasih kepada kakek karena telah mau menerima, membesarkan dan mengasuhku."

"Kamu tidak marah?" tanya Kakek Hatar. Menatap mata Kamga mencari kejujuran dari matanya.

"Kenapa aku harus marah kek. Lagian buat apa aku mencari orang tua yang tidak menginginkanku." Kata Kamga lesuh.

"Kamga... belum tentu ia tidak menginginkanmu. Sebaiknya kamu selidiki kenapa ia meletakkanmu di depan rumahku. Bagaimanapun mereka tetap orang tuamu." Nasehat Kakek Hatar.

"Akanku pikir itu nanti, yang penting sekarang adalah kesahatan kakek."

Tidak lama kemudian, tabib yang ditunggu tiba. Tabib itu memberikan beberapa ramuan, menyuruh Kamga merebusnya setiap hari, mengingatkan Kamga bahwa ramuan tersebut harus diminum setiap pagi hari.

Setelah tabib pulang, Wanda dan Zou serta bayi perempuan, adik Akra bernama Zelna, menjenguk Kakek Hatar. Seperti biasa, tiap sore mereka selalu melihat kondisi Kakek Hatar.

"Wanda, Zou, boleh aku meminta pertolongan kalian sekali lagi?" tanya kekak Hatar.

"Sudah tentu kami akan membantu" sahut Wanda.

"Jika aku tiada, tolong jaga Kamga." Kata Kakek Hatar.

"Sudah pasti, Kamga sudah seperti anakku sendiri." Ujar Zou.

To be Continued

The ZakwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang