Part 7

11 2 0
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu tiba, Kamga dan Akra mengecek kembali barang bawaannya. Kamga memastikan buku itu berada di dalam tasnya. Kamga menyalami Ibu Wanda dan Ayah Zou, begitupun Akra.

"Hai Zelna, aku pergi ya... baik-baik di sini. Jaga ibu dan ayah." Ucap Kamga mengelus lembut rambut Zelna.

"Aku akan merindukanmu" Ungkap Zelna. Memeluk Kamga.

"Aku juga pasti merindukanmu" membalas pelukkan Zelna.

Tanpa diduga oleh Kamga dan Akra, warga desa telah berkumpul di alun-alun, melepaskan kepergian pemuda idola mereka. Tapi Akra tidak melihat Alena diantara kerumanan masa itu. Setelah mengucapkan salam perpisahan Kamga dan Akra menerus perjalanannya mencari orang tua Kamga.

Hingga diujung desa, Akra melihat wanita yang tadi malam telah resmi menjadi kekasihnya berdiri.

"Cepat kamu selesaikan urusanmu, jika kita tidak mau terlambat" ucap Kamga.

Membiarkan dua sejoli yang sedang terkena virus asmara itu menikmati waktunya.

Akra tersenyum pada Kamga sebagai ucapan terimakasih atas pengertiannya, lalu berlari kecil menemui kekasih hatinya itu.

"Aku kira kamu tidak mau mengantarkanku atau memberikan salam perpisahan." Ucap Akra. Tegak dengan tegap, di depan Alena.

"Aku tidak mau mengucapkan perpisahan karena tidak ada perpisahan diantara kita. Hanya jarak jauh." Ucap Alena. Menangak ke atas karena tingginya hanya sebahu Akra.

"Bawalah ini sebagai tanda mata dariku juga sebagai pengingatmu bahwa kamu adalah milikiku." Mengulurkan sebuah scraft rajut, berwarna merah marun seperti warna buah apel.

"Kamu tidak perlu melakukan ini, tapi terimakasih." Akra mengambil benda yang disodorkan padanya. "Akan ku jaga ini selalu" lanjut Akra membawa scraft ke dada lalu menghirup bau wangi dari benda itu.

"Hati-hati, lekas lah kembali." Ujar Alena, tertunduk seolah tidak ingin melepas Akra.

Sepanjang perjalanan Akra selalu mencium scaft rajut, pemberian gadisnya.

"Sudahlah jangan kamu cium terus itu, tidak akan datang kekasihmu itu." Cibir Kamga.

Akra tidak mengacuh perkataan Kamga. Tahu bahwa Kamga belum terserang namanya asmara.

***

Akra dan Kamga telah mengunjungi beberapa desa tapi belum menemukan petunjuk apapun di mana keberadaan orang tua Kamga. Tiap bertandang ke suatu tempat, jawabannya selalu sama. Tidak ada yang mengenal atau pernah melihat buku itu. Tapi Kamga belum menyerah begitu saja. Semangat di dalam dirinya semakin tinggi.

Tidak hanya mencari di suatu pulau saja. Kamga dan Akra juga berkunjung dari pulau ke pulau. Lagi-lagi, orang-orang yang mereka temui tidak tahu tentang buku itu.

Sudah hampir tiga tahun Kamga dan Akra mencari petunjuk ke beradaan orang tua Kamga. Namun hasilnya nol besar. Entah sudah berapa pulau dan desa yang mereka kunjungi. Membuat semangat Kamga mengurang. Tapi itu tidak berlangsung lama.

Persedian air mereka berkurang dan memutuskan berhenti di jembatan depan. Saat mereka sedang mengambil air di sungai, Akra melihat seorang kakek membawa air di kedua tangannya. Akra dan Kamga langsung membantu kakek tua itu.

"Terimakasih." Ucap Kakek tua.

Mereka membawa air tersebut ke rumah panggung yang terbuat dari papan.

"Kakek tinggal sendirian?" tanya Kamga. Masih berdiri.

"Tidak, aku bersama cucuku, ia sedang berburu mungkin sebentar lagi pulang." Kata kakek tua. Mempersilahkan dua pemuda tangguh itu duduk.

"Sepertinya aku tidak pernah melihat kalian. Apa ingatanku saja yang mulai berkurang" lanjut kakek tua.

"Kami memang baru pertama kali datang ke desa ini." Jawab Akra.

"Sepertinya kalian adalah seorang petualang"

"Tidak, kek, kami hanya orang biasa yang sedang mencari orang tuaku, dia sahabatku yang membantuku." Kata kamga.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Kakek tua.

"Kakek pernah melihat sebuah buku berwarna hitam garis-garis emas?" cecar Akra. Menyuruh Kamga mengeluarkan bukunya. "Seperti ini, kek?" mengambil dari tangan Kamga lalu memperlihatkan pada kakek tua itu.

Akra dan Kamga mendapatkan petunjuk baru dari kakek tua yang mereka temui, Kakek itu mengatakan bahwa ia pernah mendengar percakapan tentang sebuah buku kalau digambarkan sama halnya seperti buku di hadapannya, saat ia masih bekerja di kastel dan selebihnya tidak tahu. Tapi sudah menjadi titik terang bagi Kamga.

Sebelum hari gelap, Kamga dan Akra pergi ke kastel yang dimaksud kakek. Kastel itu berada di pulau seberang, dan harus melewati sebuah hutan untuk sampai ke kastel tersebut. Berbekal petunjuk dari kakek tua, Kamga dan Akra telah sampai ke pulai tersebut.

Ketika di dalam hutan mereka memutuskan untuk beristirahat karena hari matahari tidak lagi menyinari bumi di bagian mereka berada. Akra dan Kamga mendirikan tenda, menyalahkan perapian untuk menghangatkan tubuh mereka.

Ketika Kamga mencari kayu untuk persedian perapian, Ia mendengarkan suara seseorang meminta tolong di antara suara  dedauan yang tertiup angin, kicauan binatang-binatang hutan sekitar. Kamga berlari ke arah asal suara itu, betapa terkejutnya ia melihat seorang gadis seumuran dengannya jika dilihat dari wajahnya yang jelita itu. Wanita itu, terjebak dalam perangkap, ada darah segar yang keluar dari lengan kirinya.

"Jangan bergerak." Teriak Kamga saat wanita itu berusaha melepaskan diri. Dengan hati-hati Kamga menarik lalu memotong perangkap yang berduri itu, tidak ingin duri di perangkap lebih banyak melukai kulit mulus wanita yang dibantunya.

To be continued

The ZakwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang