STORY 6

46 3 1
                                    

"Pi, bantu Mami nyari berkas-berkas buat NA-nya Abim, dong?!" ujar Mami.

"Sebentar, Mi. Papi lagi calling Koh Ferry buat siapin mas kawinnya," timbal Papi.

"Ah! Itu juga penting! Ya udah Mami handle yang ini sendiri aja," tutur sang istri.

"Baju akadnya gimana, Mi?" tanya Papi Galih sambil menunggu Koh Ferry, pemilik toko emas langganannya mengangkat panggilan.

"Sebentar, Mami WA Lingga dulu," balas Mami.

Sudah hampir tengah malam sepasang suami-istri ini sibuk mempersiapkan sebuah hajat dadakan yang akan dihelat esok petang.

***

"Kalau Nak Abim sanggup memenuhi syarat nikahnya, kita akan langsung nikahkan cucu kami dengan nak Abimana, besok ba'da maghrib. Bagaimana, sanggup?" ucap Teuku Utsman tegas.

Aku sudah sampai dititik ini, mana mungkin kalau ku jawab tidak sanggup, gumam Abimana dalam hati.

"Insyaa Allaah, SAYA SANGGUP," jawab Abimana mantap.

Mendengar jawaban sang pemuda, seluruh isi ruangan mengucap kalimat syukur hamdallah dan dilanjut dengan do'a barokah bersama. Ibu dan dua orang putrinya berpelukan sambil menitikkan air mata. Dalam satu hari ada dua macam jenis air mata mengalir dirumah tersebut.

Dimana Lingga? Benak Abimana yang mendadak teringat sang adik, Apa dia menyaksikan ini? Sambungnya.

Dibalik tirai yang menghubungkan ruang depan dan tengah, Lingga berdiri termangu dengan mulut terbuka. Ia terlalu syok untuk mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.

Byan tersenyum melihat ekspresi si calon istri. Ia pun menyentuh dagu Lingga dan mendorongnya keatas, agar mulut terbuka sang gadis menutup.

"Awas nyamuk masuk," bisik Byan.

"Apa aku mimpi?" ujar Lingga masih dengan ekspresi terkejutnya.

Byan hanya bisa tersenyum menahan tawa.

***

Malam itu Sekar dan Abimana langsung dipisah dari rumah yang sama. Abimana dan Byan dialihkan ke salah satu rumah kerabat yang letaknya tepat disamping rumah kediaman Sekar.

Anggap saja malam ini sebagai proses pingit bagi kedua calon mempelai. Handphone Sekar dan Abim pun turut disita. Maksud hal itu agar keduanya tidak bisa saling berkomunikasi saat malam pingit tersebut.

"Akhirnya, beraksi juga Bang Abim!" ujar Lingga dari kamar pengantin. Tak ada tanggapan dari Sekar.

"Kak Uti tidak suka dengan lamarannya?" tanya Seruni sebab melihat saudarinya hanya diam.

"Entahlah. Keputusan ini benar atau salah," gumam Sekar, berpikir panjang.

"Kamu kenapa, wel?" ujar Lingga, merapat karena khawatir.

Sekar mulai menitikkan air mata lagi.

"Pusaran Abu masih sangat basah. Bahkan duka Uni dan Ma juga masih menganga," tutur Sekar yang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak melanjutkan kalimat karena menangis.

"Uni tidak marah, kok. Uni justru senang adanya lamaran ini," timbal Seruni merangkul sang kakak.

"Memang nian! Abangku itu dag nyingok sikon wong. Ngelamar dag main timing yang benar! Dasar nian memang dio tu!" gerutu Lingga keluar darah palembangnya.

"Tapi aku senang akhirnya Bang Abim melamar kamu," sambung Lingga kemudian memeluk calon saudari iparnya.

***

BANCI (Bangun Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang