Langit lagi-lagi menumpahkan airnya pada kolam yang tengah kuhuni. Entah ia menangis, atau hanya sekadar menuntaskan tugasnya untuk memberikan minum pada tumbuhan. Entahlah, aku sendiri tak tahu. Aku tinggal di air, bukan berarti aku benci udara. Aku masih bisa hidup dengan berdiam diri di daratan. Entah bagaimana matinya seorang makhluk gaib seperti ku ini.
Ya, gaib. Apa, ya? Eng, orang-orang memanggilku Kappa, sejenis youkai. Mereka, para manusia yang percaya akan hal mistik menyebut kami, sang penghuni kolam dengan selaput disela kaki maupun tangan dengan nama kappa. Hei, yang sejenis denganku ini bukan hanya ada satu!
Ah, lagipula aku sendirian di sini. Menatap hujan dan awan suram di atas langit.
Tubuhku kecil, kolam ini aku tinggali sendiri. Seorang youkai yang mengaku padaku bahwa namanya 'Izutsu' belum kembali dari mengunjungi kampung halamannya. Aku sendirian. Tak apa, ada Izutsu juga yang dia lakukan hanya mabuk-mabukkan, membawa sake kemari dan seketika menjadi gila sambil bernyanyi.
Aku membalikkan tubuhku. Kini tiduran di atas air dengan sebagian badanku yang terbasahi air. Aku mulai menutup mata, menikmati dinginnya air dan rintikan yang membasahiku.
Tiba-tiba saja ....
"Apa kau suka hujan?"
Suara lembut menyapa, rintikan hujan tak lagi menerkamku. Apa itu Izutsu? Jika iya ... sejak kapan dia sok dramatis seperti ini?
Aku dengan kesal membuka mataku.
Ah ... manusia!
Ada manusia spesies yang biasa disebut 'lelaki' memegangi payung menghalangi hujan tuk membasahiku serta menatapku dengan senyuman ramah.
Seketika aku merasa takut. Langsung menenggelamkan diri ke dalam air.
"He—hei!" Lelaki itu keheranan melihatku.
Masa bodoh!
Namun ...
Byur!
Anak itu dengan terburu-Buru ikut menyeburkan diri ke kolam.
"Akh! Aaakh! To—to—tolonghhhhhh!"
Naasnya ... dia tak bisa berenang dan terus menerus memainkan air di sekitarnya. Tenggelam, naik, tenggelam, naik.
Ya ampun, demi sake! Mau apa dia?!
"Cih!" Aku menggerutu. Kemudian dengan sekuat tenaga serta penuh kerja keras membantu anak manusia itu tuk naik kembali ke daratan.
Aku berhasil membawa dia tiduran di bawah pohon. Tubuhnya basah kuyup, napasnya memburu dan terbatuk memuntahkan air. Aku hanya diam melihat pertujukan manusia yang ... seperti ikan sekarat.
"Ah!" Manusia yang basah itu seolah mengingat sesuatu yang amat penting. Ia langsung duduk dan mencari sesuatu di sekelilingnya, setelah kedua manik cokelatnya mengarah tepat ke arahku, saat itulah dia tersenyum lega.
"Syukurlah kau tak apa-apa."
"Hah?"
"Hehe. Tadi kau tenggelam, 'kan? Aku sungguh kaget." Ia tertawa, masih dalam keadaan yang mengatur pernapasan.
"Tenggelam? Penghuni kolam sepertiku tenggelam? Ah, tunggu! Kau bisa melihatku?!" Aku terkejut, mundur beberapa langkah.
Ia lagi-lagi tertawa. Wajahnya riang tapi aku merasakan ketakutan. Manusia berkaus lengan panjang itu berdiri tegap dan menghentikan tawanya.
"Tentu saja. Kakek dan Nenek bahkan punya banyak teman youkai," ungkapnya, setelah itu melanjutkan tawa.
"Kakek nenek?" Aku menghela napas. "Oh, tentu saja, mereka kan seperti fosil hidup. Orang zaman dahulu masih bisa melihat kami."
