Johanna melangkahkan kakinya ke dalam rumah seusai melepas sepatu. Ibunya Kheista menyambut kehadiran putrinya dengan piring berisi daging rendang di tangannya.
"Udah pulang, Na? Makan gih. Nih Mama masak rendang."
Mata Johanna berbinar begitu mendengar kata 'rendang' diucapkan. Ia mengambil tempat se-nyaman mungkin di kursi makan lalu makan dengan lahap. Kheista duduk di sampingnya dan mengambil piring untuk ikut makan.
"Udah betah di sekolah baru?" tanya Kheista sambil mengambil daging rendang.
"Udah, Ma. Walaupun belom dapet temen yang deket sih," jawab Johanna lalu meminum air.
"Nanti juga ketemu. Di sekolah yang dulu 'kan juga gitu."
Johanna mengangguk. Ia sudah berkali-kali pindah sekolah karena tugas ayahnya. Jadi, ia sudah tahu rasanya punya teman baru. Tahu membedakan teman yang hanya pura-pura atau yang tulus. Sayangnya, ia tidak pernah mendapat teman dekat karena sifatnya yang cenderung pintar menebak sifat orang dan terlalu idealis juga perfeksionis. Padahal itu adalah sifat yang diwariskan sang ayah. Namun, ia tidak masalah akan hal itu.
Tak berapa lama, ayahnya pulang dan langsung duduk di sofa. Kheista menghampiri suaminya yang terlihat sangat kelelahan.
"Tumben pulang jam segini. Biasanya malam?" tanya Johanna.
Daru menoleh--melihat putrinya yang masih belum mengganti seragamnya. "Papa pulang sebentar mau ambil berkas. Nanti Papa balik lagi ke kantor."
Johanna mengangguk mengerti. Daru bertanya, "Baik-baik di sekolah?"
"Baik, Pa. Guru-gurunya juga enak kok."
Daru tersenyum. "Bagus dong kalau gitu. Papa udah menetapkan kalau kita tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama."
Johanna mengangguk dengan senyum di bibirnya lalu dengan cepat menghabiskan makanannya. Setelah selesai, ia pergi ke kamar untuk mengganti baju santai. Sore ini ia berencana untuk membeli buku paket Fisika untuk belajar. Ia sangat suka Fisika.
Setelah pamit kepada orang tuanya, ia mengambil sepeda di garasi lalu mengendarainya menuju Toko Buku Pintar. Pertama kali diajak jalan-jalan oleh ayahnya berkeliling kota Jakarta, ia langsung mencatat nama toko buku yang dekat dengan rumahnya, salah satunya Toko Buku Pintar. Memang tempat nongkrong favorite anak rumahan, kalo gak rumah temen ya toko buku.
Bunyi bel bervolume kecil langsung menyala ketika Johanna membuka pintu. Tatanan lemari-lemari penuh banyak buku berjejer rapi seperti perpustakaan di film Harry Potter. Bedanya, yang ini versi mini dan sederhana. Para pegawai toko buku sibuk mengurusi pelanggan yang malas untuk mencari buku sehingga tidak menyadari kedatangan pelanggan baru. Johanna melangkahkan kakinya menuju rak 'Buku Ilmiah' dan menemukan ensiklopedia yang hampir semuanya telah ia koleksi.
Begitu menuju rak 'Novel/Fiksi' terdengar suara tawaan berat yang menggema. Johanna melihat dua orang itu sedang memunggunginya dan masih tertawa-tawa.
Jangan-jangan..., batin Johanna.
Reseptor otak pengendali pikiran negatifnya langsung berfungsi. Di rak itu hanya ada dirinya dan dua orang yang berjenis kelamin sama sedang tertawa-tawa ambigu. Ia dengan berani mendekati kedua orang itu dan berpura-pura memilih-milih novel romance walaupun itu sama sekali bukan genre kesukaanya.
Saat ia sudah berdiri di depan rak, salah satu dari mereka memekik. "Loh?"
Johanna menoleh. Ia membulatkan matanya dengan cepat. Pupilnya melebar. Bukan karena ia melihat cowok yang terlihat seperti mempunyai kelainan mental yang ia temui di sekolah tadi. Tetapi karena baru saja salah seorang pegawai menyalakan lampu yang sepertinya baru beli sehingga cahayanya terasa menyilaukan.

YOU ARE READING
Double Jo
Teen FictionJohanna suka bermimpi untuk menjadi detektif. Jonathan suka pake pomade di depan kaca. Hal yang disukai Johanna sangat dibenci oleh Jonathan. Tapi karena Johanna, Jonathan menjadi menyukai hal-hal yang berbau detektif. Menjadi teman dari anak popule...