Arsha. Nama cowok yang tadi dateng itu Arsha. Arsha aja, gak ada embel-embel Mas, Bang, Kak, atau nama panjang. Aku tengah memperhatikannya dari atas sampai bawah sambil memikirkan beberapa asumsi mengenai dia.
Postur tubuh? Oke.
Mukanya? Lumayan.
Baik? Kayaknya.
Pinter? Gak tau pasti sih.
Tapi sebenarnya bukan itulah yang menjadi pikiran utamaku. Aku tau ini kedengarannya egois. Tapi waktu aku pertama kali lihat dia, aku langsung berpikir untuk meminta dia menghirup bubuk mantra ini. Ah, sejujurnya aku juga tidak mau melibatkan orang yang tidak bersalah. Tapi waktu yang tersisa sangat tipis.
Saat ini dia tengah tersenyum menatap kami semua. Oke, aku harus kuatkan hatiku. Jangan sampai senyumannya membuat aku jadi gila dan berpikir untuk tidak menjadikan dia korban. Oh ralat, kedengarannya kata korban terlalu kasar. Apa lebih baik begini: menjadikan dia bahan percobaan? Oh itu lebih kasar lagi. Ah, lebih tepatnya tes dia. Nah, itu kedengarannya lebih baik.
Oke, sudah kuputuskan. Nanti, jika ada kesempatan, aku akan meminta dia untuk menghirup bubuk ini. Ya! Maafkan aku, Arsha.
Aku melirik Arsha yang duduk berjarak satu meja dariku. Saat ini dia sedang memakai kacamata minus dan membaca buku. Ah, tingkat kegantengannya semakin menambah saja. Tapi tunggu, ini bukan saatnya untuk berpikir seperti itu. Aku harus fokus dalam mencari cinta sejatiku.
"Ehm, hai Arsha?" sapaku, dan karena kegugupanku, aku malah menyapanya seperti melontarkan pertanyaan.
Dia mendongakkan kepalanya dan tersenyum. Dia harus berhenti tersenyum seperti itu! Kalau begini caranya, aku benar-benar bisa terhipnotis oleh senyumannya itu. Oke ini lebay.
"Kenapa, Delia?" jawabnya sopan. Dia bahkan tahu namaku. Well, sebenarnya ini bukan hal yang harus dibanggakan sih. Toh, tadi dia juga sudah berkenalan dengan kami semua.
Sambil memegang botol mantra dengan tangan yang gemetar, aku mulai bersuara lagi. "Bi-bisa gak lo--"
"Arshaaaa! Katanya tadi lo mau ke ruang Pak Rino kan? Ayo sini, kita temenin." seruan itu berasal dari Lena dan gengnya.
Arsha melepas kacamatanya dan mengangguk sekilas. Dia kembali menatapku dengan segaris senyum hangat yang tercetak di bibirnya. "Gue duluan ya, sampai nanti."
Aku melengos melihat kepergian Arsha. Ah, tadi itu udah waktu yang tepat banget dan Arsha malah dipanggil sama mereka. Aduh. Kapan lagi aku bisa mendapat kesempatan seperti tadi? Masalahnya, baru tadi itu Arsha berhenti dikerumunin cewek-cewek. Dan nanti pas dia balik dari ruangan Pak Rino, pasti cewek-cewek itu kembali mengerumuni meja Arsha.
Apa itu artinya dia bukan cinta sejatiku ya? Aku tahu seharusnya aku tidak pesimis seperti ini. Tapi aku jadi bingung dan penasaran. Di saat kesempatan emas datang, kenapa semuanya malah jadi kacau? Apa ini termasuk tanda-tanda bahwa dia memang bukan cinta sejatiku?
Namun, ada satu hal yang membuatku tetap berpegang teguh. Aku ingat akan petunjuk waktu itu. Carilah dengan teliti. Kalau bisa, gunakan kacamata sebagai penjelas. Sepertinya maksud dari petunjuk itu adalah cowok yang berkacamata. Dan Arsha itu kan berkacamata. Jadi, mungkin Arsha adalah cinta sejatiku. Aku tidak boleh menyerah.
Setelah dia kembali ke kelas, aku selalu berusaha mendekati dia. Namun, sepertinya dia selalu sibuk. Katanya kan, harus ada usaha yang dilakukan. Tapi kenapa sepertinya usahaku tidak dianggap dan dihiraukan sama sekali? Atau malah usahaku tidak tampak dengan jelas? Ah, aku capek. Serius deh.
Aku tengah menggesekan flat shoes-ku ke tanah. Sambil berdecak sebal dan bergumam tidak jelas aku melempar ranting-ranting pohon yang kering itu ke sembarang arah.
"Rantingnya gak bersalah, gak usah dibuang-buang kayak gitu."
Rasanya sekujur tubuhku langsung beku begitu mendengar suara bariton itu. Itu suara Arsha. Iya Arsha, Arsha yang gak ada embel-embel nama panjang itu.
Aku menoleh ke samping kanan dan nyengir. Dalam hati aku terus berharap bahwa dengan cengiran tadi, aku tidak tampak seperti orang bodoh.
"Kenapa? Lagi ada masalah ya?" tanyanya.
"Ah, nggak kok. Cuma lagi badmood aja," kilahku sambil tertawa hambar.
Dapat kulihat dari sudut mataku, dia mengambil sesuatu dari saku celananya. "Nih," ucapnya sambil menyodorkan sebuah permen rasa stroberi.
Hah? Kenapa sekarang aku merasa seperti anak kecil ya?
"Buat apa?" jawabku bingung.
Dia tersenyum, lagi. "Supaya badmood lo berubah jadi goodmood," jawabnya dengan dua alis yang terangkat.
Aku mengangguk dan menerima permen itu sambil mengucapkan terima kasih. Yaampun, dia baik banget! Aku jadi merasa bersalah dengannya. Bagaimana jika aku menyuruhnya menghirup bubuk itu? Bagaimana kalau dia jadi mabuk cinta seperti yang lain?
Jadi sebenarnya aku harus bagaimana?
13 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Spells
Short StoryKehidupanku berubah sejak bertemu dengan nenek tua yang tidak kuketahui asal-usulnya. Dia memberhentikanku dari aksi bunuh diri yang ingin kulakukan. Siapa sangka setelah itu, ia memberiku satu botol berisi mantra. Katanya, siapa pun yang menghirup...