Dua ; Sosok Bernama Dias

137 13 7
                                    

Aku dan Dias bersekolah di SMP yang sama. Kami pun teman sekelas juga. Namun, karena pria itu pendiam, Dias tak begitu dikenal walau wajahnya cukup menjual.

Ia memiliki bentuk rahang yang tegas, kulitnya putih bersih, tingginya sedang- untuk ukuran pria yang pernah aku jumpa, suaranya lembut terdengar lemah persis gadis saja, ia pun murah senyum, namun jika sudah tertawa terdengar renyah di pendengaran. Jika harus dibilang tampan, Dias di mataku justru terlihat cantik- terkesan indah.

Selama di kelas, aku terus memperhatikannya. Lagi-lagi pria itu tertawa, aku sedikit tersenyum melihatnya, sebenarnya apa yang tengah Dias bicarakan dengan temannya?

Aku berkedip- terkejut saat Dias balik menatapku. Pria lembut itu tersenyum, melambaikan tangan namun justru tindakan manisnya itu mengundang sorakan, Dias terlihat digoda habis-habisan semua temannya. Aku sedikit malu, aura merah muda seperti hinggap di sekitarku.

"Mili, aku gak nyangka kamu kemarin ngajak Dias pacaran." Felly menarikku kembali dalam obrolan, gadis itu terlihat masih tak percaya sepenuhnya. "Dias lumayan tampan, sih, tapi dia pendiam- kelihatan suram."

"Aku gak masalah kalo Mili sama siapa aja." Eve- sahabatku yang lain bersuara, "yang bikin heran, kami sebagai sahabat benar-benar gak nyangka kalo Mili pilih Dias. Setahuku, kalian dulu gak sedekat itu."

Aku cengengesan, dua temanku masih terus menuntut penjelasan. "Dias suka samaku dari dulu, kok, katanya. Jadi, gak ada yang aneh, kita dari SMP sudah sekelas juga."

"Katanya?" Felly yang paling ngotot. "Semua cowok di sekolah juga suka sama kamu, Mili."

"Tapi, Dias beda."

"Bedanya?"

"Dia gak coba deketin." Kataku menerawang, sekilas melirik kembali Dias di bangkunya. "Dia gak ikut-ikutan cowok di luar sana yang terus cari perhatian."

"Bukannya dia sadar diri, takut kamu tolak?"

"Yaa, itu yang bikin penasaran." Kataku menatap kedua temanku, "mungkin aku harus tanya langsung."

***

"Dias, ayo pulang bareng."

Sosok itu menoleh, terkejut dengan aku yang lebih dulu menghampiri. "Mili?" Aku tersenyum, melirik buku Dias yang sepenuhnya belum ia masukan. "Aku hari ini ada piket kelas."

Dias berdiri sejajar denganku, sorot matanya terlihat menyesal. "Maaf, aku gak kasih tahu kamu, ya?"

"Eh, anu- jangan minta maaf." Aku gelagapan, merasa bersalah juga sebab tak mengingat bahwa hari ini Dias ada jadwal piket kelas. "Aku tungguin kamu, boleh?"

Ia berkedip, terlihat menggaruk tengkuknya- tak enak. "Nanti Mili pulangnya kesorean. Gak usah tungguin, pulang duluan aja." Aku sedikit kecewa. Padahal kami sudah resmi berkencan, tapi sikap Dias masih seperti biasanya. Jika tidak didahului bicara, ia hanya akan diam. Jika tak ku hampiri, ia bersikap biasa saja seolah aku ini tak spesial baginya. Aku kembali bertanya-tanya, apa benar Dias menyukaiku seperti yang dibicarakan orang-orang?

"O-oh. Kalo gitu, aku pulang duluan, ya."

Ia hanya tersenyum- hangat. Aku yang sedikit kecewa, segera saja beranjak dari sana, sampai salah satu temannya berseru membuat langkahku tertahan. "Dias, kamu ngomong apa, sih." Rama- jika tidak salah itu namanya, "kalian baru pacaran, nikmatin masa itu, Yas. Soal piket, jangan repot, biar aku sama Adiang yang urus."

Pria satunya, menggguk setuju. Dias di sana masih terlihat ragu seraya melirikku. "Udah sana, nih ranselnya." Adiang tak sabaran, cowok berdarah Jawa-China itu sedikit mendorong Dias ke arahku.

"Beneran gak apa-apa?"

"Iya, bro. Sana gih pulang." Aku terperangah, pertemana mereka terasa nyata nan hangat. "Hati-hati, ya. Cmiw." Dengan malu-malu, Dias beranjak, ia menatapku dengan pipinya yang memerah. Hatiku berbunga, sikap Dias yang murni ini, membuat kesan baru yang membuat hariku kian berwarna-warni.

"Ayo, kita pulang, Mili."

Kami menyusuri koridor sekolah, aku terus mengikuti langkah Dias yang lebar. Punggungnya tegap, belakang lehernya terlihat putih, rambutnya berterbangan- terlihat halus nan hitam, dan jika aku mempertajam indra penciuman, wangi parfum bercampur keringat Dias ini ... terasa memabukan.

Pria itu ke tempat lokernya, mengganti sepatu dan menaruh buku pelajarannya separuh. "Lama, ya?" Katanya seraya melirikku, aku menggeleng- terus setia menunggu. "Aku masih gak nyangka, kalo Mili pilih aku. Makasih, ya?"

"Aku juga gak nyangka, kamu terima ajakan kencanku gitu aja." Aku tersenyum, Dias tak berusaha membalasku.

Kabar mengenai kencan kita sudah pasti telah sampai di telinga siswa-siswi sekolah, aku sedikit khawatir, dengan image populerku, sudah pasti Dias akan diganggu oleh siswa yang mengaku kepadaku sebagai penggemar.

"Kamu gak digangguin, 'kan?"

Ia menutup lokernya, berjongkok guna mamakai sepatu santai. "Memang semenjak kita dekat, beberapa hari ini aku terus ditanya-tanya." Aku ngerutkan dahi, Dias masih mengikat sepatunya. "Gak ada masalah yang serius, sejauh ini aku belum kena hajar."

"Memangnya kamu ditanya apa?"

"Mili samaku yang pacaran."

"Kamu gak takut?"

"Takutlah!" Aku tertawa, ia lalu berdiri selesai dengan urusannya. "Yang datengin aku badannya gede dan tinggi. Gila, sih, udah kaya kingkong sama kucing."

Aku semakin tertawa lebar, Dias melihatku hanya terkekeh saja. "Jadi, kamu ngatain kakak kelas kita kingkong, terus kamu ngerasa imut kayak kucing, gitu?"

"Bukan gitu maksudnya, itu tuh cuma perumpamaan." Aku nyengir, Dias terlihat lucu jika sedang ngeles begini. "Kata Rama dan Adi, kalo kita gak ngerasa salah, gak ada alasan buat takut nanggepinnya. Aku yang suka Mili ini gak ngelakuin tindakan jahat, jadi aku gak perlu takut didatengi seribu cowok pun."

Ah, manisnya...

"Aku udah lama memperhatikan Mili. Akhirnya, aku gak kamu lewatin lagi." Dias tersenyum, menunduk guna leluasa menatapku. "Kamu berharga buatku, Mili. Aku siap dengerin seluruh keluhan kamu. Memang benar kalo aku suram, tapi kalo untuk Mili aku berusaha agar bisa menyenangkan."

Hening.

"Aku ngerti sepi. Pasti selama ini berat, ya, saat kamu masih sendiri?"

Setelah obrolan itu, kami berjalan dengan perasaan canggung. Tadi itu memalukan, bisa-bisanya kita bermesraan di loker sampai di tegur siswa lain yang lewat.

Aku meliriknya- terkaget dengan rona wajah Dias yang memerah. Dia terlihat ... malu, 'kah?

Diam-diam aku cekikikan lalu menyentuh pergelangan tangannya, Dias terkejut sontak menoleh ke arahku. "Mili..."

Aku santai, terus berjalan dengan menggendengnya.

Ahh. Baru kali ini, aku merasa waktu pulang sekolah terasa membahagiakan.

***

Pain(t) - 秘密Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang