Hari yang dinanti telah datang.
Aku melirik arloji di pergelangan tangan, pakaian ku sudah rapi dengan satu tas jinjing keperluan untuk liburan. Apa aku terlalu bersemangat hari ini? Padahal masih ada waktu dari jam yang ditentukan, tapi aku justru sudah heboh sendiri begini.
"Mili, kalo mau berangkat, tolong sekalian tutup pintu kandangnya bunny!"
Aku menatap ponselku yang hening, Dias juga belum ada tanda-tanda akan datang. Apa aku yang menjemputnya saja? Toh, aku bisa sekalian membantunya siap-siap, bukan?
"Oke, deh." Aku berdiri, lalu menarik tas jinjing. "Ma, aku berangkat sekarang!"
"Iya, hati-hati di jalan. Selamat bersenang-senang, ya!"
Aku keluar pagar, menyusuri jalan. Setelah tadi turun dari taksi, aku memberitahu Dias bahwa aku akan datang. Pria itu merespon cepat, membalas pesan singkatku, bahwa ia juga ternyata dalam perjalanan ingin menjemputku di rumah.
Aku tersenyum- sumringah, menunggunya di taman dekat perumahan Dias. Saat ingin duduk, netraku mengerjap, aku melihat sosok itu keluar dari gedung bercat putih.
Bangunan megah itu ... bukannya rumah sakit?
"Di-dias, di sini." Aku melambaikan tangan- kaku, di sana juga aku melihat Ryuka yang mengekor di belakang Dias. Kakak kekasihku itu menatapku sekilas, lalu saat aku ingin menyapa, Ryuka berlalu begitu saja. "Pak Ryu-"
Aku berkedip- linglung. Ada apa?
"Ahh, Mili. Aku baru mau jemput kamu." Katanya seraya tersenyum, aku terus memperhatikannya. "Nunggu lama?"
"Kamu sakit?" Dias berkedip, pria itu ingin berkata namun suaranya tertahan. "Kok keluar dari sana?"
"I-itu-" aku mendengarkannya seraya menarik tas jinjingku di bangku taman. "Aku habis jenguk Mama."
Aku tertegun. Merasa tak enak hati. Di situasi seperti ini mengapa aku mengajaknya liburan, sih? Benar-benar tidak pengertian.
"Harusnya kita gak liburan, kan?"
Dias berkedip, "hah?"
"Kenapa gak bilang kalo Mama kamu sakit." Kataku sedikit lirih, "ayo ke sana, aku pengen jenguk juga."
"Enggak usah!" Aku mundur selangkah, terkaget saat Dias sedikit berteriak di sana. Aku memandanginya dengan raut kebingungan, pria itu mengusap wajah lalu kembali menatapku yang menuntut penjelasan. "M-mama udah baikan terus mau pulang, tadi aku cuma cek terus sekalian bilang mau liburan."
Senyum seperti itu lagi.
"O-oh." Aku mengangguk seraya menggaruk pipi kiriku. "Cuma sebentar kok, aku pengen ketemu Mama Dias."
Lagi. Senyuman itu lagi.
"Nanti aja, ya?" Katanya sambil menggenggam tanganku, "tadi Mama udah istirahat, tidurnya damai banget. Aku gak tega kalo kita ke sana lagi. Ketemu Mamaku bisa di lain hari."
Aku terenyuh, lalu mengangguk perlahan. Pria itu kembali tersenyum lalu sekilas memelukku- erat.
"Hari ini ... ayo, kita bersenang-senang."
"O-oh, hm."
Dalam dekapannya aku terpekur. Entah mengapa, terkadang dalam situasi lain Dias ini seolah tak ku kenal. Terasa asing, dan penuh misteri juga.
***
Setelah menaiki kereta bawah tanah selama setelah jam, kami berdua turun di kawasan wisata pasar lepas. Pasar ini di sekitaran tempat pantai yang akan kami kunjungi, mengingat Dias tak membawa pakaian ganti, aku pun berinisiatif ingin mampir.
"Ini kayaknya cocok buat Dias." Aku mengambil kemeja berwarna merah muda yang mencuri perhatian. Pipiku merona, memikirkan fantasi liar saat kekasihku menggunakan pakaian yang aku pilihkan. "Kulit kamu putih cerah, pasti kamu ... kelihatan ganteng, Yas."
"Benar begitu?" Aku tersadar, berusaha menyembunyikan wajah saat Dias mulai usil hendak menggoda. "Kamu suka?"
Posisinya sangat dekat, bahkan hembusan napasnya aku rasakan. Geli, rasanya menggelitik.
"Suka."
"Oke." Aku bernapas lega sambil mengipas wajahku, Dias berbalik guna membayar harga baju. "Baju pink ala Mili."
"Apa, sih?" Aku tertawa saat dengan gaya lawak Dias mengangkat kantong belanjaannya, "gimana kalo sebelum ke penginapan, kita makan dulu? Lapar, tahu."
"Okay. Let's go!"
Kami kembali memulai perjalanan, berkeliling guna mencari restoran tempat makanan khas pantai. Tapi, dalam setengah perjalanan, aku berhenti melangkah, rautku menunjukkan kekaguman, di kawasan pasar lama, aku menemukan air biru itu sangat indah walau dalam kejauhan.
"Mili..."
"Hm, Dias. Coba lihat." Pria itu kembali mundur, lalu berdiri di sampingku. "Dari sini lautnya udah kelihatan."
"Oh, iya. Indah banget." Aku menoleh, tersenyum saat binar kekasihku terlihat sama menggebu. "Gak sabar mau main air di sana."
Aku tertawa, Dias menoleh- keheranan. "Kok ketawa?"
"Habisnya ... Gimana, ya? Kamu kadang kayak anak kecil." Pria itu menautkan alisnya, aku kembali terkekeh lalu mengelus surainya- penuh sayang. "Kadang juga, kamu ... buat aku bingung."
Sengiran itu pudar, digantikan dengan rautnya yang terlihat kaget di sana. "Dias ... hubungan kita apa normal?" Aku tak tahu, mengapa tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul di pikiranku. Aku juga merasa serba salah, mengapa juga dalam liburan kami, aku justru memikirkan yang tidak-tidak.
"Hei." Katanya sambil melangkah mendekatiku, aku mendongak- menatapnya yang kini tengah tersenyum- hangat. "Kenapa kamu mendadak cemas begini, hm?"
"Soalnya selama kencan kita gak pernah berantem." Ia memegangi bahuku, aku berusaha menghindari tatapannya. "Aku jadi ragu, sebenarnya apa kamu benar cinta sama aku?"
"Iyalah." Katanya cepat, pria itu lalu tertawa. "Jangan kira karena aku kalem, bukan berarti aku gak pernah cemburu sama Ryan, ya?"
Aku menoleh kilat, tertegun saat nama Ryan disebut olehnya. "Kamu juga terlalu sungkan kalo bareng aku, kamu gak pernah tunjukkan sifat galak kamu juga waktu bareng aku. Beda kalo lagi sama Ryan, kadang aku iri lihatnya."
Apa-apaan itu?
Mengapa juga Dias bisa cemburu kepada makhluk tak jelas seperti Daryan. Tidak ada pria yang lain apa?
"Tapi, kan, aku sayang Dias. Mana bisa galak kalo kamu gak buat masalah. Makanya, ayo, dong, sekali-kali bikin aku kesel."
Dias berkedip, namun setelahnya terbahak- geli. "Yaampun, benar-benar imut." Aku terkekeh, lalu semakin merapat saat dengan gerakan gemas Dias menarikku. "Iya, okay. Kapan-kapan aku buat masalah, deh."
"Yeee, gak gitu juga. Aku cuma becanda."
Kami kembali tertawa, pelukan dari masing-masing pun juga semakin erat. Aku tak perduli dengan pandangan orang yang melintas. Bagiku, waktu bersama Dias adalah hal yang paling membahagiakan.
Namun ...
Wuuus~~
Rasanya pelukan kami semakin lama semakin menimbulkan rasa nyeri. Entah ini hanya kecamasan akan ditinggalkan, atau mungkin karena perasaan resah yang takut- rasaku ini berbeda dengan yang dirasakan Dias.
Pria itu memang terlihat mencintaiku, namun kadang dalam situasi lain, aku bisa melihat sosoknya yang bahkan bisa saja, ia pergi tanpa sepatah kata pun meninggalkanku. Dias terlalu baik, sampai aku bertanya-tanya, apakah kebaikannya ini sengaja ia lakukan demi menutupi hal yang tak ingin ku ketahui?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain(t) - 秘密
Roman pour AdolescentsRomansa cinta masa muda. Banyak rahasia di baliknya? *** School-Romance. Warning 17++