Empat Belas ; Rencana Liburan Musim Panas

29 0 0
                                    

Hari ujian telah tiba, seluruh kelas IPA kini digiring menuju gedung khusus untuk praktik pembedahan hewan. Kami yang serempak mengenakan jas putih ala dokter saling memperhatikan sekitar, tempat praktik kali ini sungguh luas dan besar.

"Kali ini disatukan dengan anak SMK, ya?" Aku berkedip, mencuri pandang ke arah tempat praktik kelasnya Ryan. "Lihat! Lihat! Wah, mereka bawa bahan pangan banyak banget, gila!"

"Wah, iya!" Eve menyahut, gadis itu mengikutiku mengintip celah dari jendela tempat kelas tata boga. "Bisa cicip gak, ya, kalo ada sisa."

Aku terkekeh- lalu melirik Felly yang sedang bermain ponsel. "Pacar Felly mana?" Kataku menggodanya, lalu tertawa saat sahabatku menunjukkan gelagat malu-malu. "Kita minta makanan sama si Nana aja."

"Jangan coba-coba bikin aku malu, Mili!" Aku tertawa, kami pun kembali melanjutkan langkah.

"Domi!" Aku menghela napas- mengenali suara yang memanggilku barusan. "Domi!"

"Apa, sih?!"

Ryan di balik pintu kelasnya terbahak, pria itu melambaikan tangan saat ketiga gadis kompak menolehkan kepala.

"Ryan sok asik banget, gila!"

"Iya, semakin hari otaknya semakin gak waras, gak ada kerjaan godain Mili aja."

Lagi, pria itu terbahak, aku mendengkus- menyorotnya tajam. Domi katanya? Sudah lama sekali rasanya tak mendengar panggilan itu.

"Eh, kalian julid. Kok ngomongin aku di belakang, sih?" Kami menyorakinya, netra Ryan semakin menyipit- tak terlihat. "Kita masih satu yayasan. Anak SMK-SMA gak boleh musuhan."

"Aku cuma musuhin kamu doang, gak anak SMK yang lainnya."

"Domi, gak boleh galak begitu, tahu."

"Ryan, ku pukul kamu, ya." Aku sudah tidak tahan, jika saja Eve dan Felly tak menahan, sudah pasti ku ajak ribut Ryan. "Domi. Domi. Jangan sebut nama kecilku lagi."

"Kenapa?"

"Pake tanya! Aku geli dengarnya!"

Pria itu kembali tertawa, aku mencebik lalu membuang muka. Di ujung sana, Dias memperhatikan, pria itu tersenyum lalu melambaikan tangan saat netra kami saling beradu pandang.

Eh?

Apa ... Dias melihatku adu mulut dengan Ryan?

Tatapan matanya seolah tak ku kenal, perasaanku juga mendadak tak enak, mengapa saat tertangkap basah melihatku, Dias seolah memandangi dengan sorotannya yang rapuh.

***

Ujian praktik selesai.

Hiruk pikuk siswa saling berdesakan keluar ruangan, aku membuka lembar hasil pembedahan di tanganku, saat tulisan "lulus" ku tangkap, mataku langsung berbinar- aku kesenangan.

"Dias, nilaiku lumayan bagus." Aduku dengan gaya congkak, Dias menoleh- terkekeh saat melihatku sudah jingkrak-jingkrak tidak jelas. "Coba lihat punya kamu."

"Gak mau." Aku terkaget dengan Dias yang tiba-tiba menarik lembar hasil ujiannya, pria itu mundur- terus menjaga jarak dariku. "Aku-gak-mau-kasih-lihat-kamu."

Hah?

Aku cengo.

Apa-apaan pria ini?

Lihat tingkahnya, rasanya aku ingin sekali menghancurkan galaksi beserta isi-isinya.

Demi dewa ala nenek Tapasya, mengapa Dias bertingkah lucu begitu, ya?

"Aku kasih lihat, asal ... turuti satu permintaanku dulu."

"Apa itu?"

Aku terkekeh- tertawa lebar saat di ujung sana Dias seolah berpikir dengan posisinya yang sudah siap main kucing-kucingan.

"Ter-tang-kap!"

Aku memeluknya, Dias terkaget namun setelahnya kami tertawa bersama. Ruangan lab ini pun sudah sepi hanya menyisakan kami berdua, bukannya pulang aku dan Dias justru seolah menikmati waktu kencan. Rasanya ... hatiku ingin meledak, kebersamaan ini sungguh membahagiakan.

"Hei..." Kami saling menatap, Dias menunduk seraya mengelus pipiku yang bersemu- malu. "Bahaya. Setiap lihat wajah ini, rasanya setiap hari aku terus jatuh cinta."

"Gombal!" Aku memukul bahunya- gemas. Dias kembali tertawa dengan menutupi wajahnya dengan kertas hasil ujian. "Belajar dari siapa kata-kata rayuan begitu, hm?"

"Gak bakal aku kasih tahu."

Aku kembali memukulinya, tawa lepasnya membuat hatiku menghangat. Aku tersenyum, tanganku terangkat mengelus rambut hitamnya.

Dias kembali menatapku, perlahan ia menggenggam tanganku- lembut. Dias tersenyum manis. "Udah lama rasanya aku gak ketawa lepas begini." Katanya pelan lalu menariku dalam dekapannya. Hangat. Nyaman. Dan membahagiakan. "Terima kasih sudah hadir, Mili."

"Apa, sih!" Aku balas memeluknya, tersenyum saat merasakan napas beratnya di ujung kepalaku. "Bilang terima kasih, seolah Dias mau pergi aja. Creepy, tahu."

Pria itu terkekeh, aku mendongak menatapnya dari bawah. "Dias..."

"Hm?"

"Liburan musim panas ini, rencana Dias ngapain?"

Ia berkedip, mengurai dekapan kami. "Belum tahu juga, aku belum kepikiran mau ke mana."

"Ke pantai, mau?"

Kami mulai meninggalkan ruangan, aku dan Dias berjalan saling bersisian. Dias terpekur, seolah memikirkan sesuatu.

"Boleh." Aku menoleh kilat, tersenyum saat pergelangan tanganku mulai digenggamnya- erat. "Ayo, kita habiskan waktu berdua saja."

***

Judul lain dari cerita Pain(t) ini Himitsu, kalo diartikan dalam bahasa Jepang berati Rahasia.

Kira-kira apa rahasianya?

Jeng.. jeng.. jeng..

Ya mana ku tahu, aku kan suka tempe.

Pansii /plak

Pain(t) - 秘密Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang