Empat ; Acara Kencan

81 9 1
                                    

Hari weekend, aku hanya bersantai di rumah sendirian. Ibu dan Ayah terlibat lembur urusan pekerjaan. Aku sedari kecil memang sudah biasa mandiri, bahkan sejak SD aku sudah biasa ditinggalkan mereka ke luar negeri.

"Hm, Mama." Aku tengah sibuk di dapur, memotong buah mangga, mengupas kulit pisang lalu mengirisnya kecil-kecil untuk dimasukkan ke blender bersama es batu dan susu. "Aku baik-baik aja, Mama fokus aja sama kerjaan."

Walau mereka sibuk, orangtuaku cukup perhatian. Ibu selalu menyempatkan waktu menelepon, hanya untuk sekedar menanyai kabar, "enggak. Hm, aku di rumah."

Ku tekan tombol on, suara bising dari khas blender membuatku sedikit menjauh. "Iyaiya, love you too, Mama. Cepet pulang, ya. Muach." Ku letakkan ponsel di sisi pantry, mengambil gelas lalu menuang jus buatanku tersebut.

"Enak seperti biasanya." Aku tersenyum, merasa bangga menikmati jus buatanku. Melangkah menjauhi dapur, aku bersenandung saat menuju kamar untuk kembali tidur. "Hidup untuk makan. Rebahan untuk bangun."

***

"Non, Mili."

"Hm." Aku spontan terbangun, mengucek mata seraya mengumpulkan kesadaran. "Kenapa, Bi?"

"Ada telepon."

"Dari siapa?"

"Namanya Radias." Aku berkedip, belum sadar. "Katanya pacar, Nona."

Aku melotot sesaat, mengibaskan selimut lalu buru-buru turun dari ranjang.

"Mana, Bi!"

"Silakan, Non."

"Dias?"

"Hallo, Mili..." Aku tersenyum, mengenali suara lembut tersebut. "Aku ganggu tidur kamu, ya?"

"Sama sekali, enggak!" Aku terlalu bersemangat, di ujung sana Dias terdengar terkekeh manja. "Kamu lagi di mana?"

"Di rumah."

"Oh, aku juga."

Garing. Obrolan kami terlalu klise sekali.

Hening.

"Anu- Domili..." Aku terkejut, tak biasa mendengar Dias memanggil nama asliku. "Besok pagi ada acara?"

"Hari minggu?"

"Hm."

"Kenapa memangnya?"

"Aku mau ajak Mili keluar."

"Kencan?" Sudut bibirku merekah, jika tak ada asisten rumah tangga aku pasti sudah melompat tak jelas.

"Iya, bisa?"

Aku berseru senang dalam hati, akhirnya Dias mengajakku pergi. "Bisa, kok. Jam berapa, Dias?"

"Sembilan. Aku tunggu besok di halte bus biasa, ya."

"Oke."

"See, ya."

"Hm."

Sambungan terputus, aku cengengesan sambil terus menggigit gemas gulingku. Segera menyiapkan diri untuk persiapan besok, aku harus memilih outfit yang sesuai untuk acara kencan pertamaku.

***

Aku menangkap sosoknya, seseorang tengah duduk di halte yang terus menatap bus yang berlalu-lalang. Nampak indah, Dias terlihat segar. Kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih cocok membalut tubuh tegapnya. Rambut halusnya turun, poninya berjatuhan menutupi sebagian wajah. Tak lama, ia merasakan kehadiranku, pria itu sedikit kaget namun langsung memberiku senyuman. Aku terperangah, Dias berdiri lalu melambaikan tangannya.

"Hai..." Aku sudah berdiri di hadapannya, merasa canggung karena terus ditatap tanpa ampun. "Udah lama?"

"Cantik."

"Hah?"

"Apa?"

Kami terdiam, menutup mulut lalu sama-sama tertawa. Gila, aku kini merasakan aura merah muda di mana-mana.

Panas~panas...

"Ayo, berangkat." Dias mengulurkan tangan, segera mengajakku memasuki bus pariwisata. Karena terkejar waktu, bus yang kami tumpangi ini membawa muatan lebih, mau tak mau demi menjagaku, Dias rela berdesakan dan hampir terlihat memelukku. Hanya butuh beberapa menit, kami pun sampai di tempat tujuan. Ahh, di sepanjang perjalanan tadi, aku tak kuasa menahan degup jantung yang menggila.

"Maaf, ya, tadi desak-desakan." Aku menoleh- memandangi wajah Dias yang terlihat menyesal. "Festival ini memang diadakan satu tahun sekali, aku gak nyangka bisa seramai ini."

"Gak apa-apa, perjalanan bus tadi seru." Ia tersenyum sumringah, lalu memberiku sebotol air mineral yang langsung ku terima. "Kita mau coba lihat apa?"

"Coba Mili berdiri di sana."

"Hah?" Aku mengikuti arah tunjuknya, bergeser sedikit lalu kembali menghadap Dias. "Di sini?"

Jepret!

Aku berdedip, kilatan cahaya itu terlalu cepat untuk ku hindari. "Woah..." Dias berdecak kagum, menghampiriku dengan benda yang ia pakai untuk membingkai wujudku. "Lihat, Mili. Cantik."

Pipiku bersemu, menyangkal dan langsung memprotesnya. "Dias, nakal!" Aku mendongak- menatap lekat Dias yang tengah sibuk mengatur filter cameranya.

"Aku baru tahu ada festival di Toya." Aku melihat-lihat bazar kompetisi makanan, berdecak kagum dengan masakan lezat yang tersedia. "Kamu tahu tempat ini dari siapa?"

"Hm, dulu waktu kecil sering diajak Ibu." Aku menoleh- melihat Dias yang sama- tengah menatapku. "Sebenarnya festival ini untuk acara keluarga, setiap tahun kami sering ke sini, aku paling seneng lihat bagian stand anak-anak."

"Tahun ini gimana, kamu gak bareng keluarga?" Aku merasakan Dias tertegun, sorot matanya terlihat berubah, sedikit kehilangan binarnya. "Apa keluarga Dias sedang jauh, jadi tahun ini gak bisa ke Festival?"

"O-oh, hm. Ibu ... lagi di tempat jauh."

Aku tersenyum. Memberikan sosis bakar sisa kepadanya. "Enak?"

"Hm." Aku nyengir, Dias mudah sekali diusili. "Bekas pacarku memang paling lezat."

Blush...

"Mau lagi dong." Aku membuang muka, berjalan sedikit lebih cepat. "Mili, tunggu."

Rona di wajahku semakin memerah, tak banyak bicara, kami pun kembali melanjutkan perjalanan.

"Mili..."

"Dias lama-lama nyebelin, ya?"

***

Pain(t) - 秘密Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang