Delapan ; Drama Cinderella

54 7 0
                                    

Aku memasuki ruang ganti, berkedip saat Dias terlihat masih diam- berdiri. Pria lembut itu menyadari, tersenyum sumringah lalu melangkahkan kaki.

"Mili..."

Kepalaku sedikit pening. Pandanganku terlihat kabur saat memandangi Dias yang hendak ke mari. Apa aku terlalu keras? Kontes drama ini sungguh menyita waktu istirahat. Sebagai ketua murid dari kelas IPA2, aku harus dituntut siap siaga- kapan saja. Dalam persiapan kemarin, sepertinya aku berlebihan. Aku kurang tidur, bahkan kini dalam acara hari-H pun, aku tak sempat merias wajah.

"Kamu gak apa-apa?" Dias sudah berdiri di hadapanku, menepuk bahu dengan raut yang terus memandangiku. "Wajah kamu ... pucat."

"Kenapa kamu belum dirias?"

Dias berkedip, kami berbicara saling bersahutan. "Enggak tahu, tuh. Crew kayaknya kerepotan."

Aku meliriknya, benar saja. Tim rias masih sangat kewalahan. Apa waktunya akan sempat? Sedangkan di sana yang terlihat sudah rapi hanya Esa dan Rama saja.

"Sini, Dias aku make-up." Awalnya ku pikir, aku luang. Niatnya ke ruang ganti hanya ingin memantau, dan setengahnya hendak langsung istirahat barang sebentar. Tapi, melihat mereka semua kewalahan, sebagai ketua aku harus siaga- bisa membantu apa saja. Ahh, lagi-lagi aku mesti turun tangan. Meresahkan. "Mbak Ella, mau riasan seperti apa?"

Aku tertawa saat menggodanya, wajah Dias ini type yang mudah sekali dibentuk sedemikian rupa. Sepertinya kekasihku ini jika ditakdirkan terlahir sebagai wanita, aku yakin, aku adalah gadis pertama yang iri melihatnya.

"Tadi pagi di rumah, kamu sarapan?"

"Hm."

"Tidur Mili cukup gak semalam?"

"Hm."

"Mili..." Ia menahan ucapannya, aku sekilas melirik lalu lanjut meriasnya. "Kamu gak mandi, ya?"

"Mandi, kok!" Aku menarik tangan, langsung mencium aroma di seragam yang ku kenakan. "Aku bau?"

Dias terkekeh seraya menangkup wajahku. "Nah, gitu, dong. Kalo aku bicara, ditatap matanya."

Ahh...

Ternyata, ... Dia hanya ingin aku perhatikan, ya?

Aku tersenyum, Dias kembali menarik tangannya. Semakin hari sikapnya semakin membuat gemas, saking manisnya Dias, aku sampai ingin mengarunginya.

Tapi ...

Timing-nya tidak tepat. Bukan saatnya untuk bermesraan! Aku harus bisa profesional. Siap, semangat!

"Selesai." Karyaku nampak indah, kini Dias terlihat seperti wanita cantik sungguhan. Tak tahan melihatnya, aku pun tertawa. Dias hanya diam- pria itu masih belum sadar dengan apa yang ku perbuat dengan wajah tampannya. "Aku kalah cantik. Coba, lihat." Aku menyodorkan cermin, Dias menerima dan langsung terlihat linglung saat memandangi wujudnya. Aku semakin tertawa, tak terasa di ruangan ganti, hanya tersisa aku dan Dias saja.

"Senang?"

Aku berusaha meredam tawa, Dias hanya mampu tersenyum melihatnya. "Kamu sangat bekerja keras." Aku terdiam, ia menyentuh lembut pipiku di sana. "Kasian, sampai gak sempat dandan. Pake lipstik pun, enggak."

"Jelek, ya?"

Dias menggeleng, perlahan ia mendekatkan wajahnya.

Loh, kok?

Aku membeku. Tubuhku seketika mendadak kaku. Rasanya seperti tersengat, kepalaku berputar, aku merasakan benda kenyal menimpa permukaan bibirku. Hanya beberapa detik saja, namun sukses membuatku seperti hilang kesadaran.

Pain(t) - 秘密Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang