Sembilan ; Sisi Lainnya

66 7 1
                                    

"Dias, di mana?"

Selesai kontes, aku langsung ke ruang ganti, mencari keberadaan kekasihku yang entah mengapa tak kelihatan lagi.

"Dia kayaknya ke loker deh, Mil."

Aku berkedip, gerakannya cepat sekali. Apa Dias sudah berganti kostum? Apa pria itu tak kesusahan saat melepas semua atribut?

"Mil-"

Aku berbalik, menutup pinta saat Laska terlihat hendak meminta bantuanku untuk melepas seluruh riasannya. Modus. Pria itu masih saja tak menyerah terhadapku.

"Hari ini kamu di rumah, kan?" Langkahku tertahan, merasa heran dengan dua sosok yang ku tangkap. "Nanti aku mampir."

"Buat apa?"

"Masakin kamu, sekalian kita makan malam bareng. Udah lama juga kita gak ngabisin waktu bersama."

Netraku membola, mulutku sedikit terbuka.

Apa-apaan pemandangan ini?

Bukankah di sana Dias bersama dengan guru magang?

Mereka terlibat dengan perbincangan yang ambigu. Tadi, sampai ingin mampir segala? Seorang pria mampir ke rumah pria juga? Dan ... hendak makan malam bersama?

"Gak usah."

"Kenapa, Di?"

"Gak butuh."

Aku berkedip, dingin sekali. Untuk pertama kalinya, setelah tiga bulan berkencan, baru tadi saja aku mendengar nada ucapannya yang tak bersahabat. Tak ada kelembutan, tak ada lagi senyuman. Terlihat seperti bukan Dias yang ku kenal.

Sebenarnya ... guru magang itu siapa?

"Dias..." Kekasihku berbalik, terkejut denganku yang tiba-tiba sudah berdiri di sisinya. Aku mengalihkan tatapan, menunduk sopan saat beradu retina dengan sang guru magang. "Lagi ngomongin apa?"

"O-oh, enggak. Pak Ryu tadi nanyain buku yang kemarin aku pinjem di perpustakaan." Auranya berubah, ia kembali ke sisi lembutnya. Dias menepuk suraiku lalu tersenyum- hangat. "Mau pulang bareng?" Ku kembali menolehkan kepala, heran dengan guru di hadapanku yang tiba-tiba saja tertawa.

Ryuka. Guru magang yang bertugas menjaga perpustakaan. Aku tak begitu mengenalnya, seingatku dulu, hanya satu kali kesempatan pria dewasa itu pernah masuk ke kelas 11 IPA2- mengajar bahasa- menggantikan guru yang berhalangan.

"Ayo." Dias masih tersenyum, mengabaikan pria dewasa di hadapannya. "Kami duluan, Pak."

"Pacar kamu, Di?" Ryuka bertanya usil, "namanya siapa?" aku menoleh- tertegun dengan wajah Dias yang terlihat memerah menahan kesalnya.

"Eh, kalo gak salah, kamu ketua murid kelas IPA2, kan?" Mengalihkan pandangan, aku mengangguk di sana. "Sudah lama semenjak masuk kelas itu, saya lupa semua muridnya. Nama kamu siapa?"

"Mili, Pak." Ryuka mengangguk-angguk, "Domili Prameswari." Ia terlihat mengerjap, tak lama setelahnya guru magang itu memberiku senyuman- hangat. Ryuka lega.

"Anak nakal, jadi sekarang kamu punya pacar." Dias menepis kasar tangan pria itu saat Ryuka menepuk kepalanya, aku berkedip- semakin tak mengerti situasi, mereka ini terlibat masalah apa? Mengapa Dias bersikap tidak sopan kepada guru magangnya?

"Udah kamu ajak ke rumah? Oh, jadi ini alesannya aku gak boleh mampir. Kalian mau asik berduaan aja, iya?"

"Berisik!"

"Bapak sering mampir?"

"Iya." Katanya santai. "Kadang sampai nginap juga."

Aku semakin berpikiran negatif. Menatap mereka berdua bergantian. "Kok bisa?"

"Mili..." Dias yang menyadari sikapku memanggil- serius. "Ryuka itu Kakak aku."

Hah?

Aku mendongak- baru tahu ternyata mereka itu bersaudara. Malu rasanya, bisa-bisanya tadi aku mengira bahwa Dias belok dengan gurunya- Ryuka.

"Pak Ryu kakaknya Dias? Maaf, aku gak tahu."

"Iya, santai aja."

Aku kembali membungkukkan badan- tak enak. Pantas saja di antara mereka ada kemiripan, wajah Dias dan Ryuka terlihat seperti kembar. "Kenapa Dias gak pernah cerita?" Aku mengahadap penuh kekasihku-  meminta penjelasan.

Dias menggaruk tengkuknya, terlihat kikuk dengan tatapan seriusku. "Habisnya ... dia gak penting."

"Apa?!" Aku tertegun- refleks menoleh saat Ryuka berseru sewot di sana. "Adik durhaka!"

"Berisik!" Lagi, Dias mengabaikan Kakaknya, aku terkekeh saat mereka kembali adu mulut- saling hujat. "Pokoknya Kakak jangan mampir ke rumah. Ayo, Mili, mending kita pulang."

"Eh?" Aku ditariknya paksa, merasa kurang sopan, aku pun berusaha menoleh ke belakang guna melambaikan tangan kepada Kakak kekasihku- Ryuka. "Pak Ryu, kami duluan."

"Yo." Guru itu membalas melambai, senyumnya cerah, ia terlihat sangat bahagia. "Hati-hati, ya!"

Aku tersenyum, lalu menoleh- menatap Dias yang sedang menyapu pandang. "Dias, kamu gak boleh begitu. Mau bagaimana pun Pak Ryu itu Kakak kamu." Pria itu cengengesan, aku menghela napas melihatnya. "Kenapa gak kamu bolehin mampir, kalian gak tinggal serumah?"

"Hm." Dalam langkahnya Dias membenarkan, "Kak Ryu dari semenjak kuliah gak tinggal bareng keluarga lagi."

"Kenapa?"

"Jarak universitas sama rumah lumayan jauh, jadi dia mutusin tinggal di apartemen dekat kampusnya."

"Oh." Aku mengangguk- mengerti. "Kalian tinggal terpisah, otomatis jarang ketemu. Tapi, kenapa tadi gak kamu izinin saat Pak Ryu mau mampir. Memangnya Dias gak kangen?"

"Akhir-akhir ini Kak Ryu jarang pulang, jadi  aku kesal aja." Ternyata ini bentuk protesnya, aku baru tahu ternyata Dias bisa bersikap dingin terlebih kepada Kakak kandungnya. "Kamu jangan terlalu dekat sama dia. Ryuka itu super usil orangnya."

Aku menatap lurus, rasanya, aku sama sekali tak mengenal seluk beluk tentangnya. Aku belum sepenuhnya mengenal Dias. Aku tak tahu bagaimana kehidupannya, aku tak tahu tentang hubungan keluarganya.

Sudah beberapa bulan semenjak menjalin hubungan, aku bahkan tak pernah sekalipun main ke kediamannya. Kencan hanya pernah sekali saja. Diantar pulang pun Dias selalu enggan mampir ke rumah. Hubungan kami masih ada jarak, padahal perasaanku setiap harinya semakin dalam. Namun, setiap ingin selangkah lebih dekat, Dias seolah meninggikan dinding pertahanannya. Aku seolah tak ada pegangan, aku bimbang- menimbulkan tanya, apakah benar Dias menyukaiku sedalam rasaku padanya?

***

Pain(t) - 秘密Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang