Satu ; Hari Jadian

282 17 7
                                    

"Aku suka kamu, Mili."

Angin berhembus kencang, rambut panjang ini menutup separuh penglihatan. Pagi ini, aku mempunyai janji temu dengan Laska, seperti dugaan, pertanyaan konyol dari sahabatku menyebabkan boomerang. Buktinya, Laska lebih memilihku dibandingkan Felly yang dari dulu menyukainya.

"Aku lebih milih kamu, Mil. Ayo, kita pacaran."

Aku mendongak- santai, mulai terbiasa mendengar ungkapan cinta dari para pria.

"Kemarin itu aku cuma disuruh, Laska. Felly yang suka sama kamu, bukan aku." Aku menelisik wajahnya, rautnya mulai berubah kesal. "Aku cuma nganggep kita itu teman. Maaf, ya?"

Laska mengepalkan tangannya, koridor sekolah yang tadinya sepi pun mulai ramai. Aku merasa bersalah, seharusnya aku bisa menolak saat Felly kemarin memintaku menanyakan sesuatu yang konyol kepada Laska. Jika sudah begini, aku justru menyakiti hatinya. Aku juga tidak bodoh, aku jelas sadar Laska kepadaku memang menaruh rasa.

"Kita lagi sama-sama sendiri, Mili. Apa yang salah sampai kamu nolak begini. Apa kamu gak enak sama Felly?"

Aku bungkam. Terlalu lelah dengan status single yang setiap hari menjadi bahan gunjingan. Bukannya aku menyalahkan bentuk wajahku yang cantik- sempurna, bukan juga aku tak suka menjadi primadona yang selalu ditatap kagum lawan jenis setiap harinya. Namun, kadang aku tertekan saja, saat kakak kelas mulai kompak menunjukkan aura tak sukanya, apalagi saat para pria mulai berbondong-bondong mengungkapkan cintanya. Aku serasa terintimidasi, lalu kemudian menjadi sasaran empuk bahan gosip. Aku dibenci para siswi, setiap aku lewat, mereka semua pasti menatapku lekat penuh dengki.

"Gak juga, Laska." Aku membuang pandangan, bergeser demi bisa melihat siswa-siswi hilir mudik di atas balkon. "Tapi, aku serius soal Felly yang memang benar suka sama kamu."

"Aku lagi gak bahas Felly! Aku bahas tentang kita, Mili!" Laska terlihat semakin kesal, ia menarikku agar mendekat. "Apa alasan kamu nolak kita? Bukan cuma aku aja, banyak cowok yang suka kamu di luar sana."

Memangnya ada yang salah jika seseorang memilih sendiri?

Bukankah lebih baik, mencintai itu harus ada timbal balik?

Di antara banyak pria yang mengaku cinta, aku tak pernah sekalipun menemukan jawaban. Apa bisa, cinta terbangun jika salah satu dari mereka merasa tak suka?

"Laska, apa kamu gak keberatan, kita jadian tanpa rasa cinta?" Ia tertegun- refleks melepaskan cekalan di tanganku. "Maaf, aku gak mau nyakitin kamu, Laska."

"Tapi, aku yang cinta, Mili. Kita kenal udah lama, mungkin kamu butuh waktu supaya bisa cinta?"

Keras kepala. Dia pikir, alasannya suka terhadapku itu karena apa? Jika bukan karena fisik saja. Terlalu terbaca. Aku sudah hafal, sebagian pria yeng mengejarku jika bukan karena cantik, paling hanya penasaran, bertanya-tanya alasanku selama ini yang masih betah menyendiri.

"Dias..." Aku memanggil seseorang yang kebetulan melintas- hendak memasuki kelas. Fokusku kini berantakan. Aku lelah selalu dikejar-kejar lalu berakhir menjadi bahan gunjingan, mungkin benar kata Felly, sudah waktunya aku mencari teman kencan. "Baru datang?"

"Domili!" Aku mengabaikan Laska, "kita belum selesai bicara." Tak kunjung ku jawab, pria itu berdecak lalu pergi begitu saja dengan perasaan murka.

Aku pun kembali memfokuskan atensiku terhadap Dias. "Katanya... dari kelas satu, kamu udah suka sama aku?"

Kami menjadi sorotan. Teman-teman yang tak sengaja mencuri dengar, terlihat syok denganku yang tiba-tiba berbicara frontal terhadap siswa biasa sekelas Radias Kala. Aku terlihat masa bodoh, bahkan lirikan peringatan Felly tak ku hiraukan. Persetan dengan popularitas primadona sekolah, aku sudah sangat lelah dengan mereka yang melihatku hanya karena tampilan cantik saja. Aku sungguh membencinya.

"Mili, tahu dari mana?" Aku berkedip, baru tahu suara Dias sungguh lembut di pendengaran, wajahnya pun terlihat sedikit memerah, ia lalu tersenyum hangat dengan tatapannya yang lekat. "Iya, sih, aku suka Mili."

Salah satu temannya terbatuk, aku berkedip melihatnya, kini Dias terlihat salah tingkah terus menggaruk tengkuknya.

"Dias, kamu sadar dengan yang kamu omongin?" Satu temannya berbicara, Dias justru cengengesan. "Mili itu siswi populer."

"Iya, benar."

"Ah, aku salah, ya?" Aku terkekeh, polos sekali. "Ya ditanya, sih, mangkannya aku jawab."

"Kamu emang bener suka Mili?"

"Iya."

Lagi, yang mencuri dengar terkejut. Aku tertawa, Dias cukup menarik tapi mengapa ia tak begitu dikenal, ya?

Bahkan... Aku yang dari SMP yang sama pun tak begitu memperhatikan, ternyata ada begitu banyak yang aku lewatkan.

"Dias..." Aku kembali memanggilnya, menatap serius manik kelamnya. "Ayo, kita kencan."

Ia berkedip, mengabaikan celotehan mereka yang mulai berbisik-bisik.

"Hm, boleh."

Sungguh diuar dugaan. Responnya sungguh tak biasa, apa itu memang balasan dari sebuah tawaran?

Dias sungguh menyihirku dengan senyuman mautnya. Namun, entah mengapa aku merasa justru terlalu over melihatnya, sorot matanya rapuh, senyumnya ini terkesan palsu.

***

Pain(t) - 秘密Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang