"Mbak, nitip Danar, ya!" Ini hari Sabtu. Setelah lima hari kerja yang sibuk sekali, akhirnya aku punya libur untuk menamatkan beberapa resep kue yang sudah ingin kucoba beberapa waktu lalu. Sampai rencanaku itu gagal , karena Risti tiba-tiba saja muncul dimuka dapur sambil menggendong Danar dan memasang wajah memelas.
"Emang kamu mau kemana?" Aku meletakkan mixer yang baru saja kukeluarkan dari dalam lemari penyimpanan dan mengambil alih menggendong Danar.
"Kondangan ke tempat mantannya Mas Iyan. Kan, serem kalau nggak aku temenin, Mbak." Iyan muncul dan terkekeh kecil sambil memeluk pinggang Risti.
"Adik Lo ini posesif bener, Nya."
"Ya... habis, kalau tiba-tiba Mas clbk lagi 'kan nggak lucu. Susah banget tahu, bikin mas move on dari dia. Mana aku harus bayar mahal lagi, ngasih pelangkah ponsel keluaran baru incerannya Mbak Anya," sungut Risti.
"Kamu sendiri, Ris yang tanya mau Mbak apa. Ya... Mbak jawablah. Kata Papa bohong 'kan dosa." Aku ingat betul wajah masam Risti saat kusebutkan ponsel incaranku ketika dia bertanya pelangkah apa yang aku minta untuk merestui pernikahannya dengan Iyan dulu.
"Sudah, deh... jangan ngambek donk, Sayang! Katanya mau ngeklaim aku didepan teman-temanku?"
"Kesel sama, Mas." Iyan tergelak. Mencium pipi Risti. Membuatku mendengus sebal. Dulu saja, dia menolak mati-matian adikku. Pake tameng belum move on segala. Bikin Risti setiap malam harus mendatangi kamarku dan menangis lebay sambil bertanya dimana kurangnya dia.
"Buruan pergi, gih! Enek lama-lama liat kalian," kataku sambil mencium pipi gembul keponakanku. "Biar Danar gue yang jaga, Yan."
"Thankyou, kakak ipar. Entar pulangnya gue bungkusin lemper, deh."
Aku memutar tubuh dan meninggalkn mereka berdua menuju kamarku. Sudah jam sebelas saat aku melirik jam disebelah ranjang. Pantas saja Danar terlihat mengantuk.
Aku membaringkan Danar keatas kasur kemudian ikut bergabung sambil melingkarkan lengan dengan hati-hati untuk melingkupi tubuhnya yang ringkih. Danar ini imut sekali. Wajahya adalah cetak gandanya Iyan yang sering membuat Risti kesal, karena tidak ada satupun bagian dari dirinya yang nyantol ke Danar.
"Kamu nggak jadi bikin kue?" Mama masuk sambil membawa secangkir kopi.
"Kopinya buat aku, Ma?"
"Ya nggaklah. Buat Mama ini." Mama duduk disisi ranjang yang kosong sambil menyeruput kopinya.
"Danar lucu ya, Nya?"
Aku tahu benar arah pembicaraan Mama. "Aku belum kepikiran nikah lho, Ma," kataku memperingatkan.
"Masa kamu nggak kepingin kayak Risti, sih? Punya suami, punya anak. Kan, ada yang bisa dibanggain gitu kalau ketemu teman-teman kamu."
Ini, nih akibat terlalu banyak bergaul dengan teman-tema arisan Mama yang tidak jelas itu. Omongannya suka melantur kemana-mana. "Kalau Risti nikah cepat itu wajar, Ma. Mama tahu sendiri gimana perjuangan anak itu buat dapatin Iyan. Dan aku nggak masalah. Mama lebih baik cari kegiatan yang manfaat, deh selain kumpul-kumpul nggak jelas dengan teman arisan Mama itu." Aku mengusap pelan rambut Danar agar bocah ini cepat tertidur.
"Dibilangin suka ngeyel. Banyak banget jawabannya, kayak Papa saja kamu."
"I love you deh, Ma," jawabku sekenanya. Mama berdecak dan beranjak keluar setelah terlebih dahulu mencium kening Danar.
(*)
Pukul tujuh Malam aku terpaksa membawa Danar keluar untuk membeli kebutuhan bulanan di Supermarket. Si Risti dan suami sialannya itu seenaknya bilang, kalau mereka akan pulang telat, karena langsung pergi berkencan setelah pulang dari kondangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/115087123-288-k815706.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Bad Romantis
Literatura Kobieca#2 in agegap (23/11/2018) (REPOST) Nggak ada yang salah dengan hidup Anya selama 27 tahun terakhir, kecuali, nggak punya pacar. Dua puluh tujuh tahun hidupnya dan Anya masih betah pegang rekor jomblo abadi. Padahal, Risti-adik perempuannya yang ti...