Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ada saatnya dirimu harus rela melepaskan orang yang kau cintai demi orang lain. -Rano
¤¤¤
Plakkk....
Tamparan keras mendarat dengan mulus di wajah itu disertai berbagai macam caci maki dan umpatan-umpatan yang dilontarkan dengan nada keras.
Ayah, Ibu, pertengkaran serta suara tangisan yang tiap malamnya menggema di rumah ini selalu mengisi hari-hari hampaku. Ini seakan menjadi suatu acara hiburan bagi telinga-telinga tetangga tiap malam. Sedikit lagi akan terdengar bunyi pecahan barang yang sengaja dibanting. Dan begitulah rumah tangga keluarga kami.
Terkadang salah satu dari mereka sampai tak pulang selama berhari-hari akibat pertengkaran-pertengkaran itu sedangkan nasib kami di sekolah yah.... ejekan dan sindiran yang bertubi-tubi menimpa aku dan saudara-saudaraku.
"CUKUP!! AKU MAU KITA CERAI SEKARANG, ARDIO!!"
Dan akhirnya hal itu terjadi. Mereka bercerai.
¤¤¤
2 tahun kemudian ....
Perceraian bukanlah solusi yang menguntungkan dan tepat bagi keluarga kami. Mungkin bagi ayah dan ibu ku memang tepat tapi tidak untuk aku dan saudara-saudaraku. Dalam masa-masa remaja terkadang banyak guncangan dan godaan yang datang walau keadaan rumah tangga khususnya ayah dan ibu baik, apa lagi seperti kami? Aku merasa untuk bernafas saja sangatlah susah walau nafas itu gratis.
Aku dan adik bungsu ku memutuskan ikut tinggal bersama Ayah ku sedangkan adik kedua, ketiga, dan keempat ikut bersama Ibu ku. Dan sampai saat ini aku benar-benar tidak tahu akan kabar dari ketiga adikku bersama ibu, kami benar-benar ... terpisah.
Keluarga kami pecah dan kehidupan aku dan adikku sunggu penuh dengan hinaan dari teman-teman sekolah terlebih adik perempuan bungsuku. Terkadang aku tidak bisa apa-apa lagi melihat sikap teman-temannya yang sering membuli status keluarga kami. Aku sudah pasrah tengan nyanyian penyayat yang tiap hari berngiang-ngiang di telinga ku.
"Kamu tahu sudah berapa hari kamu tidak masuk sekolah? Hampir tiga minggu, Rano."
Dan kali ini nasib pendidikan ku yang semakin terancam. Memang benar sudah hampir tiga minggu aku tidak sekolah tapi itu ada alasan tersendiri bagiku. Aku harus pontang-panting untuk mencari pekerjaan sekedar menambah uang bulanan aku dan adik ku. Ayah terkadang tidak pulang berminggu-minggu, dia juga hanya memberikan kami uang seadanya untuk makan dan jajan sehari-hari dan itu sama sekali tidak cukup bagiku. Walau sudah setengah mati untuk berhemat tatap saja tidaklah cukup untuk membayar SPP sekolah kami. Kalau aku harus berhenti sekolah itu bukanlah masalah bagiku untuk hidup tapi adikku? Mau jadi apa jika ia harus berhenti sekolah? Aku tidak bisa membiarkannya.