"Hai apa kabar temanmu yang murung itu?"
Aku terkejut dengan pertanyaanmu, lagi. Seperti dulu, kau mengingatkanku lagi pada dirinya, tentang seorang kawan yang telah lama hilang dan bahkan kabarnya saja juga aku ingin ketahui. Dan sekarang aku dihadapkan kepada pertanyaan yang sebenarnya juga sangat aku ingin ketahui jawabannya.
"Apakah dia masih suka duduk di puncak bukit saat senja tiba?"
Tanganmu menggamit tanganku, menggoyang-goyang manja dengan lirik mata itu, mata yang aku kagumi karena kejernihan dan kepolosannya. Mungkin karena itu aku bisa mencintaimu dan melupakan sedikit demi sedikit tentang kawanku yang murung itu.
Tetapi kau menanyakan kembali soal kawan itu, kawan yang ingin aku lupakan meski kadang aku rindukan. Entahlah, aku tidak mau ribut dengan pertanyaan darimu, terlebih pertanyaan aneh yang muncul dari diriku sendiri saat mengingatnya.
"Aku sendiri tidak tahu, mungkin dia sudah bertemu dengan senja yang dia tunggu dan pulang kerumah untuk membawanya, memasukkannya kedalam kotak kaca di atas meja bacanya. Atau....." tenggorokanku tercekat, terasa tidak nyaman untuk melanjutkan, dan kemana perginya suara itu.
"Atau apa?"
Matamu itu menatapku lagi, sebentar saja kuamati, kemudian kualihkan kepada jalan yang mulai sepi karena jam malam diberlakukan.
"Kita percepat saja, sebentar lagi tepat jam sembilan malam. Kita sedikit telat dari waktu yang kita rencanakan"
Kataku muncul, mengajaknya berjalan lebih cepat.
Mata polosnya masih kosong, kepolosan adalah senjata yang mampu melahirkan pertanyaan yang jujur dari sebuah manusia. Tanpa ada ketakutan tanpa ada kekhawatiran untuk memilah-milah atau berpikir tentang disakiti menyakiti. Aku tidak peduli kepada ketidakpedulianmu.
YOU ARE READING
Malam Ganjil Seno
General FictionKumpulan Cerita Pendek Tentang Hidup dan Pergolakan Pemikiran